Sebuah informasi mengenai pementasan Dee masuk ke dalam handphone saya. Benjo men-tag nama saya di akun Instagram Dewi Lestari. Saya pun segera mendaftarkan diri ke dalam website yang dituju, namun apa lacur, website meminta maaf karena kuota sudah penuh. Namun saya tak segera berputus asa. Di dalam pengumuman, para peminat yang tidak terdaftar diminta hadir 1 jam sebelum acara.

Tanggal 7 Oktober pun tiba, saya yang tanpa persiapan apa-apa, segera mengajak Dini yang ternyata juga seorang penikmat sastra. Kami berangkat dari Pasar Minggu sejak pukul 16:35, dengan estimasi tiba di GI pukul 17:23 karena kemacetan yang terjadi setiap rush hour. Benar saja, kami tiba di Arjuna Lobby pukul 17:25. Setelah itu, kami segera bergegas ke Lantai 8 untuk menuju Galeri Indonesia Kaya, dimana pementasan akan dilakukan.
antri! demi Dee dan Sapardi

 

Setibanya di lantai 8, kami segera masuk ke dalam Galeri Indonesia Kaya. Ternyata Galeri Indonesia Kaya sedang berulang tahun yang kedua. Karena itu, mereka mengundang para pekerja seni 2 generasi dalam bidang masing-masing. Sebut saja Erwin Gutawa bersanding dengan Gita Gutawa, Titi DJ dengan Dara Jana, Dewi Gita dengan Woro Mustiko, dan yang paling anyar Sapardi Djoko Damono dengan Dewi Lestari.
Memasuki ruangan Galeri Indonesia Kaya, saya merasa menjelajah Indonesia. Disambut dengan ucapan selamat datang dengan berbagai bahasa daerah, galeri ini menawarkan keramahan ala Indonesia. Saya mencoba booth foto dengan aksesori daerah, kemudian membuat kartu pos dengan pola batik. Tak hanya itu, saya juga mencari informasi mengenai kuliner, sejarah serta budaya dari banyak daerah di Indonesia. Menunggu terasa menyenangkan disini.

 

menunggu waktu berfoto sama Dini

 

Tak terasa, waktu sudah menunjukkan pukul 18:00, para peserta yang masuk dalam daftar tunggu (waiting list), diminta untuk menyebut nama dan berapa orang yang ikut daftar. Saya berkenalan dengan 2 orang yang juga masuk dalam daftar tunggu, Ardi dan Mbak Mala. Kami pun segera dekat karena memiliki tujuan yang sama : melihat Dee dan Sapardi secara langsung. Alhamdulillah, doa kami tercapai, kami berhasil masuk. Kami mendapatkan gelang berwarna merah dan sebuah pulpen wayang. Tak lama setelah kami masuk, tiket dinyatakan habis. 150 seat berhasil dipenuhi pada pukul 19.25. Penonton diajak untuk menyanyikan Lagu Indonesia Raya (sesuatu yang sangat sangat saya sukai).

 Musikalisasi Cerita Dewi Lestari

Dee dan Reza saling bertukar pandangan cinta
Dewi Lestari masuk tanpa memberikan salam pembukaan. Ia segera mengambil posisi di depan mic, sedangkan suaminya Reza Gunawan sudah duduk manis di depan piano berwarna putih. Dee membawakan cerita Hanya Isyarat. Sebuah cerita dari kumpulan cerita di dalam buku Rectoverso.
“Aku sampai di bagian bahwa aku telah jatuh cinta. Namun orang itu hanya mampu kugapai sebatas punggungnya saja. Seseorang yang cuma sanggup kuhayati bayangannya dan tak akan kumiliki keutuhannya. Seseorang yang hadir sekelebat bagai bintang jatuh yang lenyap keluar dari bingkai mata sebelum tangan ini sanggup mengejar ….” 
Tak hanya itu, Dee juga menyanyikan lagu Hanya Isyarat yang menjadi salah satu soundtrack Rectoverso. Saya benar-benar terpukau dengan penampilan Dee, malam ini. Segera ingatan mengarah kepada seseorang yang mulai saat ini hanya saya nikmati punggungnya saja. Hahaha.

 (Tonton penampilan Dee disini membacakan Hanya Isyarat) 

Setelah itu, Dee segera melanjutkan penampilannya dengan membawakan cerita Cicak di Dinding. Lagi-lagi Dee menyihir semua penonton di dalam ruangan. Alunan piano dari Reza berhasil menambah syahdu performance Dee. Tidak ada suara selain alunan piano dan suara Dee. Beberapa kali tatapan cinta diberikan Dee kepada Reza. Duh..

“Nyaris hilang kseimbangan, tubuhnya mencari sandaran pada dinding, menempel tepat di atas kotak plastik berkenop bulat. Hatinya ditemukan. Tapi tak lagi sama. Tak ubahnya dinding yang tampak polos saat terang namun berubah menjadi rimba semarak saat gelap datang…”
Saya memelajari musikalisasi musik dengan alunan nada dan juga cara membaca puisi ala Dee disini. Setelah mendengar Dee membaca dan bernyanyi, saya pun paham bahwa musik dan puisi adalah satu tubuh yang padu.
Setelah tepuk tangan meriah, Dee segera melanjutkan cerita ketiga, Grow A Day Older. Sebuah cerita tentang dua orang yang saling mencinta, namun keduanya sudah memiliki pasangan. Hayooo.. stay or leaving yaa? Haha.
“Wherever we’ve been, wherever we’re going, I’m content in this moment, knowing that we travel one more day together as…. whatever.”
Cerita keempat, Malaikat Juga Tahu adalah cerita yang paling saya tunggu-tunggu. Cerita tentang Abang, seorang autis yang menjadikan seorang perempuan pelengkap malam minggunya, sama seperti keseratus sabunnya. Namun sang perempuan lebih memilih pergi bersama adiknya, pergi dari ritual harian Abang. Bunda pun tetap menjaga Abang, menerima apapun kekurangan Abang dan menjadi juara dalam hidup Abang.
“Bunda tak bisa dan tak merasa perlu mengutuk siapa-siapa. Mereka yang tidak paham dahsyatnya api akan mengobarkannya dengan sembrono. Mereka yang tidak paham energi cinta akan meledakkannya dengan sia-sia…”
Setelah nonton musikalisasi puisi secara langsung, saya sepertinya akan ketagihan. Seperti yang pernah dikatakan oleh kak Idham, “Sastra adalah makanan dan nutrisi bagi jiwa, dlien”. Dan menurut saya bahagia itu sangat sederhana : menyaksikan pementasan penulis favorit secara gratis dan secara langsung.

 

Dee dan Sapardi dalam satu panggung

Menghayati Sajak Sapardi 

tak ada yang lebih arif
dari hujan bulan juni
dibiarkannya yang tak terucapkan
diserap akar pohon bunga itu
Siapa sih yang tidak kenal dengan sajak terkenal di atas? Sapardi Djoko Damono atau biasa disapa Sapardi, adalah seorang Guru Besar Institut Kesenian Jakarta yang masih produktif di umurnya yang ke 75. Beberapa sajaknya yang terkenal seperti Aku Ingin, Bunga, Angin, dan Dalam Doa’ku.
Sosok yang menyenangkan terasa ketika Sapardi ikut menertawakan kesalahannya ketika membaca puisi. Menurutnya ia adalah pembuat puisi, bukan pembaca puisi. Selain itu ia juga meminta penonton jangan berusaha memahami puisinya, cukup dihayati saja. Kenapa? “Karena saya sendiri pun tidak tahu artinya,” ujarnya sambil terkekeh.
bersama Prof Sapardi
Ia pun menjelaskan mengenai puisinya yang terkenal Hujan di Bulan Juni. Pasti setiap orang yang membacanya, berusaha mengerti kenapa hujan di bulan Juni? Bukankah pada bulan Juni, hujan jarang turun? “Kalau saya buat puisi Hujan di Bulan Desember, sudah sangat biasa. Orang pasti tidak akan bertanya-tanya,” ia pun tertawa kembali. Sosok yang sangat menyenangkan…
Ia pun menceritakan bagaimana puisinya menjadi terkenal. Pada tahun 1988, beberapa orang mahasiswanya di Fakultas Sastra Universitas Indonesia, menyanyikan sajak-sajaknya. Kemudian dijual dan tersebar ke beberapa kampus. Hingga akhirnya, sang penulis sajak pun ikut terkenal. Sang mahasiswa, Tatiana (disebut sontoloyo sama Sapardi. Hihihi) memiliki sebuah grup band kampus. Oia, pada tahun 1950-an, Sapardi adalah kepala band di kampusnya. Hihi. Pasti banyak perempuan-perempuan yang tergila-gila pada sosok Sapardi muda.
Sebelum turun panggung ia membacakan kutipan puisi Hujan di Bulan Juni.
“Aku mencintaimu.
Itu sebabnya aku takkan pernah selesai mendoakan
keselamatanmu”
Saya tak bisa berucap apa-apa. Terima kasih untuk Galeri Indonesia Kaya yang mengundang dua sastrawan keren ini. Terima kasih juga untuk Dini, Ardi dan Mbak Mala yang udah seseruan, sayangnya kita gak foto bareng.
Bahagia itu memang sederhana!
Ditulis di Kantor Kak Agus, Pasar Minggu sambil denger hasil rekaman musikalisasi puisi

23:22 WIB Rabu, 7 Oktober 2015

untuk para penggemar Dewi Lestari diluar sana. 😀

Bertemu Dee dan Sapardi di Galeri Indonesia Kaya

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua. Quis ipsum suspendisse vel facilisis.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Categories

Trending posts

No posts found

Subscribe

Lorem ipsum dolor amet, consecte- tur adipiscing elit, sed tempor.