Seorang laki-laki berdiri di perempatan sudut jalan. Ia seorang tukang becak. Wajahnya terlihat lelah. Aku melihatnya dibalik guyuran hujan. Rintik-rintik air yang terus membasahi Kota Makassar. Memberikannya air yang tersapu di seluruh bagian tubuhnya.

Dibalik air, aku masih bisa melihatnya mengigil kedinginan. Aku tak bisa membayangkan diriku kedinginan di sudut jalan itu. Sendirian. Ah, mungkin aku yang terlalu menganggap dirinya demikian. Mungkin saja ia adalah orang yang paling kuat dan berwibawa di komunitasnya. 

Saat ini ia sedang memperhatikan kerumunan massa di salah satu rumah, rumah seorang sahabat yang tengah berduka.

Kualihkan pandangan dari lelaki tua itu. sesekali mendengarkan ceramah dari laki-laki yang diberikan julukan “ustad”. Ah, aku kembali tafakur dengan keberadaanku di dunia ini. Laki-laki itu mengingatkanku bahwa berbuat baik adalah sebuah kewajiban. Dan kita sebagai manusia harus mempersiapkan diri menuju sebuah dunia yang kekal. Sebuah dunia yang dijuluki Alam Baka. 

Terlintas dipikiranku, bagaimana nanti jika aku sudah wafat dan tak ada yang mendoakanku. Ah, sudahlah, tak perlu melankolis. Hidup memang harus disykuri, aku yakin saat ini Tuhan tengah mempersiapkan sebuah hal besar. 

Saya jadi teringat lelaki itu. Apakah ia cukup minuman yang hangat di rumahnya? Apakah ia cukup mendapatkan uang untuk memenuhi kebutuhan hidup anak-anaknya? Apakah ia memiliki anak-anak yang saleh dan mendoakannya kelak ketika ia wafat? Pertanyaan itu terus berkelebat, hingga akhirnya aku menyadari bahwa kematian kian dekat.

Di umurku yang menjelang 22, aku pun terenyak. Sudah selama ini saya menghabiskan hidup dalam kesia-siaan. banyak kebohongan yang telah kulalui. tapi, dengan pengakuan ini saya akan memulai lagi lembaran baru. memulai untuk berpikir, bahwa setelah kematian masih ada alam lain yang menungguku..

#dibuat setelah pulang dari Ta’ziah Alm. Bapaknya Chalid.

7 Januari 2013