Pernahkah terlintas dalam benak kalian satu kali saja ketika kalian berada di sebuah rumah makan dan memesan sup ikan kakap kuah kuning. Atau ketika pergi ke sebuah hotel dan mengambil ikan tuna grilled di atas piring yang disajikan. Sebuah pikiran yang mempertanyakan asal ikan kakap yang akan masuk di perut kalian , “Apakah ikan ini ditangkap dengan alat ramah lingkungan dan berkelanjutan?? Atau jangan-jangan menangkap ikan tuna dengan bom, trawl, atau bahkan dengan solar? Apakah perusahaan memperhatikan kesejahteraan nelayan? Apakah nelayan atau kapal perusahaan tidak menangkap hewan yang dilindungi dan terancam punah?” Dan beragam pertanyaan lainnya mengenai status ikan kakap dan tuna tersebut.

Jika kalian pernah mempertanyakannya, saya mengucapkan “Selamat Datang” dalam dunia perikanan yang ternyata rumit dan ‘njlimet’. Ternyata ikan yang kita makan di meja makan, sudah mengalami perjalanan yang sangat jauh. Sejak mulai ditangkap oleh nelayan, dijual ke pengepul atau supplier, kemudian didistribusikan ke pasar, dijual oleh pedagang eceran atau bahkan dijual oleh pabrik besar, dan akhirnya berada di rumah makan dan hotel-hotel. Itu adalah salah satu contoh siklus yang sangat singkat. Jika saya mencoba menjelaskan siklus ini, mungkin membutuhkan 1 halaman panjang untuk menjelaskan asal-usul ikan tersebut. Ada beberapa jenis ikan di Indonesia yang mengalami perjalanan yang lebih jauh lagi. Misalnya ikan tuna yang ditangkap di Maluku dan dieksport hingga ke Amerika Serikat. Perjalanan ikan tuna tersebut sudah lebih jauh dari manusia itu sendiri. Heheh.

logo seafood savers

Sejak tahun 2007, Food and Agriculture (FAO) mengeluarkan statement “75% perikanan di dunia sudah memasuki masa kritis, terancam bahkan habis” [1]. Banyak scientist di seluruh dunia yang memprediksikan bahwa dalam 50 tahun ke depan hasil tangkap perikanan (non-budidaya) akan habis bahkan punah. Mungkin cucu kita tidak akan pernah melihat secara langsung bagaimana bentuknya ikan kakap atau tuna yang sudah kita makan tadi.

kapal nelayan

Nah, karena itulah dibutuhkan sebuah sistem dalam mengawasi keberlanjutan perikanan di dunia, khususnya di Indonesia. Tingginya tingkat penangkapan yang tidak ramah lingkungan, harus menjadi perhatian kita semua. Banyak yang selalu bilang bahwa ini adalah salah nelayan, saya tidak setuju. Ini ternyata bukan hanya salah nelayan yang menangkap ikan dengan cara tidak berkebelanjutan. Setelah ditelusuri ternyata yang paling penting dalam mendukung perikanan berkelanjutan adalah Konsumen.

Kenapa konsumen menjadi mata rantai yang paling penting? Kenapa bukan nelayan? Kenapa bukan penjual?

Coba kalian pikirkan, konsumen memiliki hak prerogratif untuk memilih barang yang akan dibelinya. Jika kalian dihadapkan pada dua pilihan jenis ikan, satu yang ditangkap menggunakan bom tapi harga murah dan satu yang ditangkap dengan pancing tapi harga sedikit mahal. Mana yang kalian pilih? Pasti tergantung dari keadaan kantong kan?? 😛 Hal ini lah yang harus menjadi perhatian konsumen. Membeli barang bukan hanya dari segi murah saja, tapi melihat ‘latar belakang’ barang yang dibeli.

Karena konsumen menjadi rantai mata penting dalam mendukung keberlanjutan, maka WWF-Indonesia mencoba menguatkan posisi tawar pelaku usaha agar konsumen bisa mengetahui apa saja yang bisa diketahui agar konsumen tak salah pilih dalam memilih produk sustainble. WW-Indonesia membuat Seafood Savers dengan

Melihat hal ini WWF-Indonesia mencoba menjembatani pelaku industri dalam mewujudkan perikanan Indonesia yang berkelanjutan. Sejak tahun 2009, Seafood Savers terus bekerja sama dengan para pemangku kepentingan dalam memberikan apresiasi kepada pelaku industri yang telah berkomitmen untuk menjadikan perikanan Indonesia ke arah yang lebih baik.

Ada beberapa tujuan Seafood Savers ketika didirikan pada tahun 2009, yaitu

  1. APRESIASI : Memberikan apresiasi kepada para pelaku usaha yang melaksanakan praktik-praktik perikanan bertanggung jawab.
  2. ASISTENSI :  Memberikan asistensi teknis kepada perusahaan anggota untuk mendapatkan sertifikasi MSC dan atau ASC melalui kegiatan perbaikan perikanan tangkap dan budi daya.
  3. PENGHUBUNG : Memfasilitasi pengadaan produk perikanan yang bertanggung jawab melalui hubungan bisnis yang terjalin antara produsen, ritel dan institusi keuangan yang menjadi anggota Seafood Savers.
  4. ADVOKASI : Mengadvokasi kebijakan nasional yang mendukung industri perikanan yang berkelanjutan.
  5. EDUKASI : Mengedukasi konsumen mengenai pentingnya memilih dengan bijak produk-produk perikanan yang bertanggung jawab.

 

Seafood Savers bisa dikatakan sebagai panduan bagi konsumen maupun pelaku usaha agar bisa membuat dunia dengan wawasan perikanan berkelanjutan. Bukan tugas mudah, tapi paling tidak banyak orang berusaha agar ikan tetap bisa hadir di dunia 🙂

Itulah sekelumit tentang Seafood Savers, saya sedang mengikuti kegiatan lomba “I am Fishery Reporter” dan melakukan wawancara dengan chef utama Best Western Premier Solo Baru Pak Irawan. 🙂 http://www.seafoodsavers.org/events/video-competition/

Ada beberapa pertanyaan yang saya ajukan dengan Pak Irawan mengenai ikan-ikan yang digunakan di Hotel Best Western Premier Solo Baru. Let’s check this out.

ditulis di ISKINDO

14:57 WIB Senin, 24 April 2017

sambil dengar lagu Demi Cinta – Padi

 

Sumber :

[1] http://www.fao.org/fishery/topic/13701/en

[2] http://www.seafoodsavers.org/tentang-kami/#apakah

Kenapa Memilih Ikan Dengan Logo Seafood Savers?

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua. Quis ipsum suspendisse vel facilisis.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Categories

Trending posts

No posts found

Subscribe

Lorem ipsum dolor amet, consecte- tur adipiscing elit, sed tempor.