Pulau Saparua, terletak tak jauh dari Pulau Ambon. Memiliki banyak tempat wisata menarik. Namun seringkali tak dilirik.
Kami kembali menyusuri jalanan kecil yang di kiri terlihat pantai, sedangkan di kanan terlihat hutan produksi. Sebuah kombinasi yang sangat menenangkan. Beberapa kali kami melewati rumah-rumah penduduk. Rumah khas yang dimiliki oleh masyarakat Maluku, yaitu rumah dengan teras kecil, pintu, dan jendela segi empat dari kayu. Selain itu cat nya seringkali menggunakan warna kuning atau warna-warna lembut.
Hingga kami singgah di Desa Sirisori, tempat durian yang kemarin kami makan. Kami pun membeli durian lagi, berharap rasanya seperti durian yang kemarin. Tujuan perjalanan kami kali ini adalah Benteng Duurstede.

Saksi Bisu Perlawanan Saparua

Perjalanan dari Desa Ouw ke Kota Saparua sekitar 30 menit. Ketika kami datang, Benteng Saparua masih terkunci. Penjaga pintunya tidak ada, sedangkan semua orang sedang sibuk mempersiapkan kegiatan “Api Pattimura”. Sebuah kegiatan tahunan yang diselenggarakan untuk mengenang perjuangan Kapitan Pattimura.
Benteng Duurstede
Kami berempat mondar-mandir mencari celah untuk masuk ke dalam benteng. Dan akhirnya kami menemukan tanah yang melonjak ke atas sebagai pijakan untuk naik ke atas benteng. Hahah. Kak Firsta yang paling imut terlebih dahulu naik. Bahu saya digunakan sebagai pijakan (untung aja gak terlalu berat). 😀
Setelah Kak Firsta berhasil naik, saya pun semakin penasaran dan ingin sekali naik ke atas benteng. Saya pun dibantu oleh Om John untuk mencapai pinggir benteng dan hup saya pun berhasil. Segera setelahnya saya dan kak Firsta selfie bersama. Tangan kak Firsta terlihat gemetar. 😀
Tak lama kak Mumun pun ikut menyusul, karena ia terprovokasi melihat dua anak kecil yang dengan mudahnya memanjat dinding. Saya enggan memikirkan cara untuk turun ke bawah.
Di atas benteng, saya membayangkan para penjajah yang menikmati pemandangan cantik Pulau Saparua dari atas sini. Di Benteng Duurstede inilah pada tahun 1817 Kapitan Pattimura melawan Belanda dengan gagah. Ia memimpin perlawanan masyarakat Saparua untuk menjatuhkan rezim sewenang-wenang yang dilakukan oleh Belanda. Selain Kapitan Pattimura, beberapa tokoh perjuangan lainnya seperti Christina Martha Tiahahu, Anthoni Rebok, Phillip Lattumahina, Said Perintah ikut dalam peperangan ini.
Sampai saat ini kita masih bisa melihat meriam-meriam buatan Belanda. Namun sepertinya sudah tidak bisa digunakan lagi. Selain itu ada sebuah ruangan yang sudah rusak di tengah-tengah benteng. Seperti bekas kantor yang sudah tidak terpakai.
Seperti yang kami bayangkan proses turun dari benteng lumayan berat, namun kami berhasil melaluinya dan menjadi cerita seru yang tak terlupakan. Tapi jangan dicontoh ya, karena kami benar-benar kepepet. Sudah jauh-jauh ke Saparua, rasanya tidak afdol jika tidak menginjakkan kaki di benteng fenomenal ini. 😀

Pantai Pasir Putih Kulur dan Pemandian Tujuh Putri

 
Pantai Kulur
Kami pun bertolak ke Negeri Kulur, disana ada pantai yang berdekatan dengan Pelabuhan Fery menuju Pulau Seram. Berpasir putih dan berwarna biru tosca membuat siapapun yang memandang bisa betah karenanya. 😀
Saya hanya menikmati pemandangan pantai sedangkan mereka bertiga berfoto-foto ria di pinggir laut sambil snorkeling. Lebih seru duduk di pinggir pantai sambil mengambil gambar. Dua kali kapal fery melewati kami. Setiap harinya ada kapal fery yang menyebrang ke Pulau Seram. Jadi jika mau melanjutkan perjalanan ke Seram tanpa harus ke Ambon, bisa naik fery dari Pelabuhan Kulur.
Setelah puas berjemur di Pantai Kulur, kami pun pergi goa tujuh putri (seven princesses cave) yang konon katanya digunakan sebagai tempat mandi ketujuh putri. Dari jalan utama, kami berjalan kaki sekitar 10 menit untuk tiba di goa tersebut.
Kapal Fery
Waktu sudah menunjukkan pukul 17.10 WIT ketika kami datang. Goa sudah mulai terlihat gelap, namun saya bisa melihat jernihnya air di dalam goa ini.  sedang ada ibu-ibu yang mencuci pakaian di dalam goa tersebut. Padahal sirkulasi air di dalam goa ini sangat sedikit. Sehingga air busa akan tertampung di dalam goa dalam waktu yang lama. Secara tidak langsung, saya dan pengunjung lain berenang di dalam larutan busa deterjen. Hiks. Menyedihkan.
Seharusnya penduduk lokal diajak untuk lebih peduli dalam menjaga keindahan tempat ini. Walaupun memang untuk masuk ke sini gratis, tapi paling tidak berusaha menjaga dan mempertahankan keindahan goa.
Tak terasa matahari sudah nyaris tak terlihat, kami pun segera bergegas untuk pulang. Sepanjang perjalanan saya benar-benar merasakan keindahan Saparua. Tak ada salahnya bagi kalian traveller berbudget rendah untuk datang dan mengenal Saparua lebih dekat. 😀
Kak Mumun dan Mama Mery
Diselesaikan di Kantor Kak Agus, Pejaten
1 Agustus 2015, 14:26 PM
Sambil makan es krim dan nasi padang parahnya belum ganti baju selama tiga hari. XD

Sedikit informasi untuk menuju Saparua

          Kapal cepat ke Saparua ada setiap hari jam 8 pagi dan jam 1 siang. Harga tiket 75 ribu untuk kelas ekonomi.
          Penginapan banyak tersedia di Kota Saparua, range harga dari 100 ribu hingga 300 ribu per orang. Jika mau menginap di Rumah RP bisa hubungi nomor +62 81343108100. Harga per malam 150.000 per orang sudah termasuk dengan makan pagi, makan siang dan makan malam. 😀
Rumah RP

Pengalaman Tak Terlupa di Saparua (part 2)

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua. Quis ipsum suspendisse vel facilisis.

4 Responses

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Categories

Trending posts

No posts found

Subscribe

Lorem ipsum dolor amet, consecte- tur adipiscing elit, sed tempor.