Indonesia dikenal sebagai bangsa maritime, paling tidak karena dua hal : pertama, sejak dulu kala penduduk di kepulauan nusantara dikenal sebagai pelaut ulung. Kedua, wilayah lautnya lebih luas daripada wilayah daratannya. Dengan begitu, secara udah orang akan mengetahui bahwa sumber daya alam kelautan milik Indonesia sangat besar, bila dikelola dan dieksplorasi secara baik akan menghasilkan sumber penghidupan yang tiada habisnya untuk kesejahteraan bersama. Tapi, apa yang kita lihat selama ini adalah pemerintah belum memiliki rasa keberpihakan pada kelauatan. Sehingga terkesan laut miliki kita diabaikan potensinya oleh pemerintah. Padahal laut kita malah lebih sering dijadikan lumbung dan bahan rebutan Negara-negara asing tanpa kita ketahui.
Mengapa hal ini bisa terjadi? Karena selama ini, seperti yang kita perhatikan, pembangunan nasional yang dilakukan masih berorientasi ke daratan. Sumber kekayaan yang berada di daratan dikuras habis, yang berakhir dengan krisis penghidupan dan aneka bencana alam yang ditimbulkan oleh keserakahan manusia. Di lain pihak, laut termarginalkan-terpinggirkan, hanya baru dijadikan tempat buangan, buang sampah dan buang limbah. Belum ada inisiatif yang benar-benar terlaksana di tataran paling bawah, masyarakat.
Selama ini masyarakat masih belum menyadari bahwa sangat penting bagi mereka untuk menjaga wilayah laut tetap lestari. Hal ini dikarenakan belum adanya Undang-undang yang dibuat untuk mengikat masyarakat untuk ikut menjaga lingkungan laut. Banyak contoh yang bisa kita lihat, dimana para nelayan tanpa merasa bersalah membom terumbu karang, menggunakan racun sianida, dan lain-lain. Yang tanpa kita sadari akan berdampak buruk bagi seluruh ekosistem laut.
Padahal jika kita lihat dampak buruknya beberapa tahun mendatang, maka kita sendiri yang akan merasa rugi. Menurut penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia di tahun 2002 menyatakan bahwa Indonesia kehilangan tiga sampai enam terumbu karang setiap tahunnya akibat dari Destructive Fishing Practices seperti menggunakan racun sianida, bom, dan shipping. Hasil penelitian lainnya yang dilakukan oleh Lembaga Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya dan Lingkungan Hidup (LPPSLH) Purwokerto, menjelaskan dari 60.000 km2 lebih areal terumbu karang di wilayah perairan Indonesia, hanya 6,2 persen (3.720 km2) yang masih dalam kondisi baik. Sisanya, 93,8 persen (56.280 km2) dalam keadaan rusak dan rusak berat. Jika hal ini terus berlanjut maka kita sendiri yang akan kena akibat dari hancurnya terumbu karang. Karena struktur masif dan kokoh dari terumbu karang memiliki fungsi sebagai pelindung sempadan pantai dan ekosistem pesisir lain (padang lamun dan hutan mangrove) dari terjangan arus kuat dan gelombang besar. Struktur terumbu yang mulai terbenti sejak ratusan tahun yanglalu juga merupakan rekaman alami dari variasi iklim dan lingkungan masa silam, sehingga penting bagi penelitian paleokologi.
Belum lagi manfaat lainnya yang bisa kita ambil dari terumbu karang seperti perlindungan pantai dan pulau kecil, wisata bahari, marikultur, bioteknologi, perdagangan biota ornamental, wilayah perlindungan, penambangan pasir karang, kerajinan souvenir dan penelitian dan pendidikan. Semua hal ini bisa dilakukan jika terumbu karang berada dalam kondisi sehat.
Karena itulah Indonesia perlu mengaktifkan atau menggalakkan Daerah Perlindungan Laut (DPL) untuk menjaga kelestarian terumbu karang yang sudah mulai rusak. DPL atau Marine Sanctuary adalah suatu kawasan laut yang terdiri atas berbagai habitat, seperti terumbu karang, lamun, dan hutan bakau, dan lainnya baik sebagian atau seluruhnya, yang dikelola dan dilindungi secara hokum yang bertujuan untuk melindungi keunikan, keindahan, dan produktivitas atau rehabilitasi suatu kawasan atau kedua-duanya. Kawasan ini dilindungi secara tetap/permanen dari berbagai kegiatan penelitian, pendidikan dan wisata terbatas (snorkel dan menyelam).
Pentingnya dibuat kawasan DPL karena mengingat banyak nelayan-nelayan baik tradisional maupun modern yang berperan sangat besar dalam perusakan terumbu karang. Hasrat untuk memperoleh hasil tangkapan yang besar mendorong nelayan-nelayan tadi menggunakan teknik-teknik penangkapan yang merusak kelestarian sumberdaya hayati laut. Misalnya saja penggunaan Sodium Sianida (NaCN) pada dosis tinggi (2×10-1M) akan mudah membunuh karang; pada dosisi sedang (2×10-1M) karang akan kehilangan zooxanthelae (simbiosis alga) dikenal dengan proses bleaching dan pada dosis rendah (2×10-3M/2×10-4M), sianida bisa menyebabkan hilangnya zooxanthelae tapi belum sampai terjadi bleaching atau discolorisasi (hilangnya warna pada karang). Tingkat pernafasan karang juga berkurang 10-90 persen karena racun sianida ini. Lebih jauh lagi racun sianida ini akan membunuh tidak hanya ikan-ikan karang kecil, invertebrate dan lebih parah lagi adalah membunuh organism pembentuk terumbu karang yaitu karang (hard coral). Akibatnya, ekosistem yang meregang ajal ini mengurangi daya tarik wisata bawah air.
Karena itulah pemerintah harusnya mengetatkan penjagaan di DPL agar hal-hal seperti pengeboman, pengunaan racun dan lain-lain tidak terjadi. Dengan demikian DPL diyakini sebagai salah satu upaya yang efektif dalam mengurangi kerusakan ekosistem pesisir, khususnya ekosistem terumbu karang. Selain itu DPL juga penting bagi masyarakat setempat sebagai salah satu cara meningkatkan produksi perikanan (terutama ikan yang berasosiasi dengan terumbu karang), memperoleh pendapatan tambahan melalui kegiatan penyelaman wisata bahari, dan pemberdayaan pada masyarakat dalam perencanaan dan pengelolaan sumberdaya mereka.
Karena itu, sebagai suatu bagian dari langkah-langkah pengelolaan dan perlindungan sumber daya laut, pengembangan dan pengelolaan DPL sebaiknya disesuaikan dengan potensi sumber daya lokal dan ramah lingkungan dengan “konsep pemberdayaan masyarakat”.  Keterlibatan aktif masyara
kat secara luas merupakan inti penting dalam sistem pengelolaan dalam sumber daya laut. Untuk itu, masyarakat yang kehidupannya tergantung dengan sumber daya ini perlu diberdayakan baik pada level perencanaan, pelaksanaan maupun pengawasannya.
Hal-hal yang perlu dipertimbangkan dalam membangun DPL dengan konsep pemberdayaan masyarakat :
1.    Era otonomi daerah mendorong pemerintah-pemerintah di tingkat kabupaten menggali potensi ekonomi secara optimal untuk membiayai kegiatan pembangunan daerah. Oleh karena itu, kebijakan pemerintah daerah dalam mengelola sumber daya kawasan serta mengatur tata ruang pesisir dan laut harus memperhatikan dan mengadopsi norma-norma social-budaya di tingkat local agar tidak terjadi konflik kepentingan yang berkepanjangan. Dengan demikian, kebijakan tersebut dapat memberikan ruang yang fleksibel bagi upaya peningkatan kesejahteraan hidup masyarakat nelayan dan masyarakat pesisir secara keseluruhan.
2.    Pembentukan forum kerjasama atau forum komunikasi antar pemerintah daerah yang memiliki kawasan perairan untuk mengantisipasi sejak dini timbulnya perkembangan terburuk, seperti konflik antarkelompok nelayan.
3.    Perlu dilakukan identifikasi seluruh pranata yang dimiliki oleh masayarakat pesisir/nelayan. Data ini sangat penting untuk memilih pranata-pranata yang bisa didayagunakan dalam memberdayakan masyarakat nelayan
4.    Penguatan organisasi masyarakat nelayan dan jaringan kerja samanya. Organisasi ini sangat diperlukan untuk menghubungkan masyarakat local dengan masyarakat luar.
Konsep pengembangan dan pengelolaan DPL berbasis masyarakat ini tentu saja memerlukan perangkat hukum untuk menjamin kepastian dan kesinambungan pelaksanaannya.  Dalam hal ini perlu dirumuskan suatu bentuk produk hukum apakah yang paling tepat untuk pengembangan dan pengelolaan DPL berbasis masyarakat.  UU 32/2004 memberikan satu jawaban mengenai bentuk produk hukum yang paling tepat untuk memfasilitasi pengembangan dan pengelolaan DPL berbasis masyarakat yaitu melalui Peraturan Desa. Peraturan Desa dalam hal ini dianggap paling tepat sebagai produk hukum yang mewadahi pengelolaan dan pengembangan DPL dengan mengacu pada lingkup teritorial desa dimana DPL berada.  Hal ini diperkuat dengan Pasal 13 UU No. 10 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa materi muatan Peraturan Desa mencakup seluruh materi dalam rangka penyelenggaraan urusan desa serta penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya.
Tetapi, ada hal lain yang bisa juga menjaga DPL tersebut. Menurut ahli antropologi maritime selain melakukan DPL, kita juga bisa menggunakan praktik-praktik hak ulayat laut sebagai strategi pengelolaan sumber daya alam yang bisa menjamin kelangsungan hidup (ekonomi) masyarakat dan menjaga kelestarian sumber daya. Misalnya saja masyarakat Maluku yang mengenal istilah Petuanan dan Sasi. Petuanan merupakan konsep territorial tentang kepemilikan atas suatu kawasan. Sedangkan, Sasi adalah system norma dalam hokum adat yang mengatur pemanfaatan sumber daya alam yang berada di bawah kawasan Petuanan. Praktik-praktik hak ulayat di kawasan Timur Indonesia harus dipertahankan dan dikembangkan secara optimal karena potensi sumber daya perikanan di daerah itu cukup besar. Dengan demikian, pengelolaan sumber daya perikanan di kawasan tersebut benar-benar memberikan kemakmuran bagi masyarakatnya.
Bahan Pustaka
Kusnadi. 2002. “Konflik Sosial Nelayan, Kemiskinan dan Perebutan Sumber Daya Alam”. Yogyakarta; LKIS.
           

Urgensi Kawasan Perlindungan Laut bagi Terumbu Karang

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua. Quis ipsum suspendisse vel facilisis.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Categories

    Trending posts

    No posts found

    Subscribe

    Lorem ipsum dolor amet, consecte- tur adipiscing elit, sed tempor.