Senyum anak-anak nelayan di Pulau Buru
Entah apa yang ada di dalam pikiran orang tuanya ketika melihat anaknya masuk di dalam televisi. Namun bukan karena anaknya juara 1 di sekolah atau mendapatkan penghargaan lainnya, namun karena tindak kekerasan yang dilakukan oleh teman sekolahnya. Saat ini marak berita di layar kaca mengenai penganiayaan yang dilakukan oleh siswa sekolah kepada temannya. 
Saya memerhatikan sebuah berita di sebuah acara bincang-bincang. Tagline berita “SIswa kelas 1 SD dikeroyok hingga buta”. Astagfirullah. Entah bagaimana saya menggambarkan kesedihan tersebut. Anak umur 7 tahun dikeroyok oleh kakak kelasnya. Apa yang mereka pelajari? Saya tak habis pikir.
Dulu, ketika saya SD kelas 4, saya juga termasuk korban bully. Karena saya selalu dikerjain habis-habisan sama teman. Karena kulit saya yang lebih gelap dibandingkan yang lain, saya pun selalu jadi “sasaran”. Tapi saya tak serta merta dipukuli hingga babak belur. Mereka sebatas mengejek, menyandung, menimpuk, dan beberapa kegiatan lainnya. 😀 Mungkin anak-anak saat itu tak sampai hati untuk membuat seseorang “babak belur”.  Mereka belum ada pikiran untuk saling memukul, menendang dan berusaha menyakiti teman sendiri. Itu di tahun 2000…
Banyak hal yang memicu keinginan anak untuk melakukan kekerasan. Bisa dari pengaruh orang tua yang menggunakan kekerasan dalam mendidik anaknya. Kemudian dari apa yang mereka lihat, misalnya game, film dan apa yang mereka tonton dapat mempengaruhi alam bawah sadar mereka. Cukup mudah untuk menemukan film dan games yang mengandung unsur kekerasan. Film dengan mudah diunduh dari warnet. Games tersedia di smartphone atau ke warnet terdekat. 
Anak-anak tak sadar dengan permainan yang digemari. Apalagi game yang mengandung unsur kekerasan dalam setiap stage nya. Banyak permainan yang mewajibkan si pemain jago dalam menggunakan pisau, senjata api, bahkan pukulan tangan kosong. Ketika hal ini dibawa ke dunia nyata, mereka pun mencoba mempraktekkannya. Hasilnya seperti anak perempuan yang dikeroyok di SD Bukittinggi, Sumatera Barat. Atau yang lebih parah adalah Dayan Ahmadi yang dikeroyok hingga tak bisa melihat. 
Hingga saat ini baru 10 kasus yang terungkap oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Namun saya yakin kejadian ini adalah fenomena gunung es. Hanya bagian puncaknya saja yang terlihat. Selain luka fisik, luka psikologis juga menghantui sang anak. Jadi siapa yang harus disalahkan? Anak-anak? Orang tua? Guru? Disinilah pertanyaan buat orang yang sudah lebih dewasa untuk menjawab pertanyaan ini.
#tulisan prihatin dengan kasus bully anak saat ini
ditulis di Kantor Harta Samudra
5:12 PM 2 Desember 2014

Siapa yang Salah? (Kasus Kekerasan Pada Anak)

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua. Quis ipsum suspendisse vel facilisis.

One Response

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Categories

    Trending posts

    No posts found

    Subscribe

    Lorem ipsum dolor amet, consecte- tur adipiscing elit, sed tempor.