Pembangunan Waduk Resahkan Warga
Alih-alih membuat daerah resapan air sebagai kampus percontohan, pembuatan waduk oleh Unhas malah meresahkan warga yang tinggal di sekitar lokasi tersebut.
Hujan lebat yang terus mengguyur Makassar sejak Minggu (06/01) malam membuat warga Jalan Sejati Tamalanrea, Kompleks Unhas resah. Pasalnya di sekitar lokasi perumahan terdapat sebuah waduk yang bisa jebol sewatu-waktu, apalagi jika debit air terus bertambah. Jika hal itu terjadi, maka tak ayal lagi perumahan warga akan jadi korban. Di sebelah waduk tersebut, terdapat sebuah rumah yang bisa saja terkena dampak langsung jika waduk ini jebol. Akibatnya, 12 orang penghuni rumah tersebut tak bisa tidur nyenyak selama musim penghujan ini.
Waduk sedalam + 2 M tersebut rencananya akan difungsikan sebagai penampung dan penyambung aliran menuju Sungai Tallo ketika debit air meningkat di atas 2 M. Selain itu, limbah dari Rumah Sakit (RS) Wahidin Sudirohusodo akan dialirkan ke waduk ini, setelah melalui Instalasi Penyaringan Air Limbah (IPAL). Waduk tersebut kemudian akan dijadikan sebagai tempat penampungan sementara dan sebagai tahap awal perencanaan untuk pembangunan Instalasi Pengolahan Air (IPA), yang mana air dari 3 danau Unhas akan dibuatkan pipa untuk disambungkan menuju tangki yang ada di workshop kemudian dilakukan pengolahan air oleh IPA. Sayang, kurangnya dana membuat pembuatan waduk tersebut terhenti di tengah jalan. “Belum rampungnya pengerjaan proyek ini disebabkan oleh kurangnya dana yang disediakan,” papar Drs Jursum, Kepala Bagian Perlengkapan Unhas.
Salah seorang perancang proyek ini, Prof Dr Ir Lawalenna M Eng, mengatakan pembangunan saluran air dan waduk sudah diperhitungkan dengan matang. Unhas memiliki permasalahan kekurangan air setiap musim kemarau. Apalagi, saat ini Asrama Mahasiswa (ramsis) belum difungsikan karena tidak adanya persediaan air bersih. “Jika menggunakan jasa Perusahaan Distrik Air Minum (PDAM), perhitungannya adalah, air sebanyak 1200 m3 akan habis dalam waktu 2-3 jam perhari,” tutur Lawalenna.
Sementara itu, Warga Jalan Sejati masih mempertanyakan kejelasan waduk ini. Menurut mereka, pembangunan waduk yang dimulai pada Agustus 2009 lalu itu tak pernah dibicarakan sebelumnya dengan warga. H Ali Mantong (53), salah seorang warga Jalan Sejati mengatakan tidak pernah ada koordinasi dari pihak pengelola proyek. “Mereka cuma menunjukkan gambar mengenai saluran air yang akan dibangun tersebut,” katanya sambil menunjuk saluran besar yang dialiri air limbah dari Rumah Sakit Wahidin Sudirohusodo.
Tidak hanya H Ali Mantong yang merasa risau, tapi sekitar 15 rumah yang berhadapan langsung dengan bendungan. Salah seorang perwakilan warga sempat menemui Rektor Unhas untuk membicarakan masalah ini. Menurutnya warga sudah memberikan solusi terhadap masalah tersebut. “Kami sudah mengajukan usulan, yakni bronjong (tanggul yang disusun oleh batu. red) dinaikkan, dan pengadaan pompa air supaya air yang berada di Jalan Sejati dialirkan ke danau di Kera-kera sebagai danau resistan,” tambahnya pada Identitas.
Mengenai air yang merembes ke rumah warga, Lawalenna ketika ditemui di Kantor Jurusan Teknik Sipil meminta warga tetap bersabar. “Kita minta agar aliran air jangan ditutup supaya air yang di waduk tidak tinggi. Kemarin dananya tidak cukup, cuma Rp 8 milyar. Pertengahan 2010 akan ada tambahan dana Rp 2 milyar,” terang Lawalenna.
Jika pembuatan waduk ini memang telah diperhitungkan matang-matang, semestinya tak perlu ada hal yang meresahkan warga. Musim hujan baru saja datang. Jika pengerjaan waduk masih harus menunggu pertengahan tahun, rasanya terlalu lama warga harus menyimpan keresahan. Jika tak segera ditanggulangi, bukan tak mungkin waduk setengah jadi itu akan benar-benar jebol.
Permasalahan yang ditimbulkan pembuatan waduk tersebut tak hanya itu. Sumur yang berada disekitar saluran air sekarang tercemar. Indikasinya adalah air yang berbau dan sudah berwarna. Air dari sumur sudah tidak bisa lagi dipakai memasak. Air yang dipakai memasak nasi akan menyebabkan nasi basi di keesokan hari. Warga juga sudah tidak berani mengonsumsi air sumur. “Kami takut meminum air yang tersebut karena sudah tercemar limbah,” ungkap salah seorang warga yang tak ingin disebut namanya. Padahal, sumur tersebut menjadi sumber air utama bagi warga jika kemarau tiba. (Tra, Mai /Nay)
Identitas, edisi awal Januari 2010
2 Responses
:g:
This comment has been removed by the author.