12 Agustus 2017
20 Jam Sebelum Keberangkatan
Seharusnya ini jadi ulang tahun Ayah yang ke 64 bersama dengan anak-anaknya. Seharusnya ini jadi ulang tahun yang menyenangkan baginya. Karena sangat jarang anak-anaknya berkumpul lengkap berenam.
Saya yang seringkali meninggalkan rumah, Milzam yang sebentar lagi akan membuat ‘rumah kecil’ baru, Hany yang memilih untuk tinggal di Ibukota, Majid yang bercita-cita sebagai koki dan harus rela pulang pergi, Azizah yang sedang mengejar impiannya dan si Bungsu Maulana yang menetap di Pesantren.
Tapi ternyata di ulang tahunnya, Ayah malah harus kembali merelakan anaknya “pergi” lagi. Sudah beberapa kali Bunda tersedu di dalam kamarnya. Beliau selalu sedih jika mengingat semakin sedikit waktu yang dimilikinya untuk bercengkrama dengan si Sulung.
“Andaikan Bunda bisa mengulang waktu, Bunda selalu ingin kembali di tahun 2006. Kalian semua masih kecil-kecil dan dekat dengan Bunda dan Ayah,” begitu katanya. Berkali-kali.
Kami duduk melingkar sembari berdoa agar doa Bunda menjadi kenyataan. Kami semua bisa berkumpul lagi, suatu saat..
12 Jam Sebelum Keberangkatan
Ketika matahari muncul di peraduannya, rasa khawatir terbersit. Ini adalah hari dimana segalanya akan dimulai. Menempuh perjalanan selama 16 jam untuk memulai petualangan baru selama 2 tahun. Setelah semalam, saya banyak menghabiskan waktu untuk sekedar bercerita dengan Ayah Bunda dan adik-adik. Rasanya sedih, tapi saya tidak bisa berairmata. Karena saya yakin ini bukan sebuah perpisahan. It’s not good bye ..
Arif yang selama ini membantu saya dalam proses mendapatkan beasiswa adalah orang yang pula membantu banyak dalam proses persiapan. Ia dengan telaten membantu saya merapihkan seluruh barang-barang. Saya membuat daftar persiapan apa saja yang harus saya bawa. Peralatan mandi, bumbu-bumbu, baju, celana, hingga buku-buku masuk ke dalam satu koper dan tas kain. Yang paling sulit saya kemas adalah kenangan. Rasanya saya agak berat meninggalkan Indonesia. Terlalu banyak kenangan..
Jam terus berputar dan tidak terasa saya harus meninggalkan rumah tercinta. Rumah yang sangat jarang saya huni. Rumah yang selalu hangat dengan kasih sayang. Rumah yang menjadi tempat berteduh. Rumah yang selalu menawarkan kerinduan akan kampung halaman.
9 Jam Sebelum Keberangkatan
Ketika kami meninggalkan rumah. Ada rasa sedih mulai terbetik. Pada titik ini saya tetap tidak mengeluarkan air mata. Entah di titik mana saya akan berurai air mata.
Kami singgah di rumah Datuk untuk pamit dan membawa mobil. Di sela-sela waktu yang semakin sedikit, semakin banyak kenangan.. Salah satunya ketika seorang sahabat SMP datang untuk mengucapkan salam perpisahan sementara. Semakin banyak pesan masuk ke dalam gawai. Dan semakin banyak orang yang ikut mendoakan. Saya diantara bahagia dan ingin segera berurai air mata. Tapi apa daya, kantong air mata serasa kering.
5 Jam Sebelum Keberangkatan
Sepanjang perjalanan, jalanan Jakarta seakan ikut menyampaikan perpisahan sementaranya. Setiap debu, klakson, kemacetan dan bahkan lengang Jakarta di kala malam hari semuanya menguar di dalam ingatan. Setelah perjalanan sekitar 2 jam, akhirnya kami tiba di Terminal 3 Ultimate Soekarno Hatta, Jakarta. Jalanan lengang, sepertinya sedang banyak yang memilih untuk bergelung di kamar sebelum malam nanti memenuhi jalanan Jakarta.
Disini, semakin banyak teman-sahabat-keluarga yang hadir di detik-detik kepergian. Masih, air mata belum keluar. Saya malah lebih banyak tertawa dan tersenyum. Saya pasti akan rindu kenangan ini..
1 Jam Sebelum Keberangkatan
Hingga akhirnya pengeras suara mengabarkan bahwa pesawat Garuda GA-88 menuju Amsterdam sudah siap lepas landas. Waktunya tiba..
Air mata masih tetap tak keluar.. masuk ke dalam imigrasi. Masuk ke ruang tunggu. Hingga akhirnya masuk ke dalam pesawat. Saya tetap tak menangis.. aneh rasanya..
Lepas Landas
Perjalanan 16 jam pun dilalui , dan ternyata ketika semua orang terlelap, perlahan-lahan saya menangis. Menangis dalam diam. Tiba-tiba saya takut akan berpisah dengan semua orang yang ada di Indonesia. Tiba-tiba ketakutan akan sebuah perpisahan menguat.
“seharusnya saya pergi silaturahmi kesana”, “seharusnya saya segera minta maaf”, seharusnya saya melakukan ini sebelum saya pergi”, dan lain-lain tiba-tiba bermunculan.
Setibanya di Schipol, air mata telah kering. Dan entah kapan saya akan mengeluarkannya lagi. Dan untuk alasan apa..
Ditulis di kamar Asserpark 006 10 C
21:42 CET 15 September 2017
Sambil dengar lagu No Good in Goodbye – The Script