Apa kalian mengenal Nypah fruticans, Sonneratia alba, Rhizophora mucronata, Avicennia alba maupun Xylocarpus granatum? Mungkin bagi yang sering datang ke daerah pesisir sudah tak asing lagi mendengar namanya.  Nama-nama latin tadi adalah beberapa jenis mangrove atau bakau yang hidup di daerah Sulawesi Selatan. Sebuah kekayaan yang bisa menjadi nilai tambah bagi pariwisata Sul-sel. Kenapa bisa? Nah, kali ini saya akan mencoba mengenalkan sebuah konsep yang mungkin sering anda dengar tapi masih jarang pemanfaatannya. 
Dimana konsep Ekologi dan Pariwisata yang dijadikan satu, menjadi Ekowisata. Tujuannya untuk mendidik wisatawan, untuk menyediakan dana untuk konservasi ekologi, langsung bagi kepentingan pembangunan ekonomidan politik pemberdayaan masyarakat lokal, atau untuk mendorong rasa hormat terhadap perbedaan budaya dan untuk hak asasi manusia.
Sejak 1980-an ekowisata telah dianggap sebagai upaya kritis dengan lingkungan, sehingga generasi mendatang dapat melanjutkan tujuan lingkungan. Beberapa program universitas menggunakan deskripsi ini sebagai definisi kerja ekowisata. Salah satunya Universitas Hasanuddin jurusan Ilmu Kelautan. (promosi kampus.. hehehe)
Karena itulah konsep ekowisata bisa menjadi konsep unggulan di Sul-sel selain wisata budaya, wisata kuliner, atau wisata modern. Kenapa bisa saya katakan seperti itu? Dapat pelajarannya tentang lingkungan, kita dapat juga liburannya. Enak kan?
Menurut Martha Sayang ada beberapa karakteristik ekowisata, yaitu :
  Melibatkan perjalanan ke tujuan alam
  Meminimalkan dampak
  Membangun kesadaran lingkungan
  Memberikan manfaat keuangan langsung untuk konservasi
  Memberikan keuntungan finansial dan pemberdayaan bagi masyarakat setempat
Sul-sel memiliki banyak potensi yang mungkin tidak dimiliki oleh daerah lain, seperti tempat lahir saya, Jakarta. Potensi gunung, hutan dan laut bisa dijadikan sebagai objek wisata yang menarik banyak pengunjung.
Misalnya saja potensi sumberdaya hutan yang sangat besar yaitu 2.121.984 Ha atau sekitar 14,54% dari luas daratan Sul-sel. Dimana Hutan Lindung memiliki besar 1.259.239 Ha, Hutan Produksi 655.344 Ha, dan Hutan Konservasi 207.401 Ha (Dinhut, 2010).
Perhitungan diatas juga termasuk dalam hutan mangrove yang ada di Sulsel. Jika di maksimalkan potensi tersebut, pemerintah ataupun masyarakat bisa mendapatkan keuntungan. 
1.      Ekonomi berbasiskan masyarakat
Ada beberapa jenis mangrove di Sulsel yang bisa dimanfaatkan mulai dari kayu, buahnya, dan daunnya. Misalnya saja di daerah Maros yang membuat sirup dan dodol dari bahan baku buah mangrove. Masyarakat Pulau Bauluang yang menjadikan kayu mangrove sebagai bahan bangunan atau kebutuhan memasak. Banyak warga yang akhirnya menjual kayu-kayu dari pulau tersebut di salurkan ke pulau-pulau lain. Tapi, para warga menanam mangrove setiap tahunnya. Jadi, selalu ada keberlanjutan hidup mangrove di pulau tersebut. 
2.      Eko-edu-wisata
Pariwisata yang dipadukan antara pendidikan berkonsepkan lingkungan. Misalnya saja Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup (PPLH) Puntondo. Di PPLH, para siswa bisa belajar tentang ekosistem wilayah pesisir seperti mangrove dan terumbu karang. Jadi mereka berwisata sambil belajar menanam mangrove dan transplantasi karang. Keberlanjutan lingkungan yang mereka pelajari menjadi salah satu tujuan dari penanaman konsep belajar dan lingkungan. Masyarakat di sekitar PPLH pun mendapatkan keuntungan seperti pelatihan lingkungan yang dilakukan oleh PPLH. Atau pelatihan meramu bahan alam untuk dijadikan penganan. 
3.      Budaya dan Sejarah
Ternyata salah satu ritual penting ketika melakukan pernikahan bagi orang Makassar yaitu Panaik membutuhkan mangrove. Menurut salah seorang dosen saya, buah mangrove (Nypah fruticans) menjadi salah satu buah yang dibawa ketika Panaik. Jadi, semakin banyak jenis buahnya maka semakin baguslah panaik yang dibawa. 😀
sedangkan untuk sejarah, pasti banyak yang belum tau sejarah Pelabuhan Rakyat Kayu Bangkoa. Ternyata pada zaman dulu, pelabuhan tersebut dijadikan pelabuhan kayu mangrove dari berbagai pulau. Jadi sebelum dijual di Makassar, kayu mangrove (Bangkoa) disimpan disana. Sehingga pelabuhan itu disebut Pelabuhan Kayu Bangkoa. Hmmm. Lumayan menambah pengetahuan kan, ternyata, mangrove banyak manfaatnya. Hehehe.
4.      Fungsi Fisik dan Biologis
Mangrove berfungsi sebagai penahan abrasi pantai jika ditanam di garis pantai. Selain itu bisa mengendalikan intrusi air laut serta melindungi daerah  belakang mangrove dari hempasan angina dan gelombang. Selain itu untuk fungsi biologis sebagai tempat mencari makan, memijah dan berkembang biak.  

Konsep pariwisata yang bisa diambil oleh pemerintah Sulsel seperti yang sudah dijalankan di beberapa Negara seperti
Kosta Rika , Ekuador , Nepal, Kenya, Madagaskar dan wilayah seperti Antartika , ekoturisme merupakan bagian yang signifikan dari produk domestik bruto dan kegiatan ekonomi
Terkadang potensi seperti inilah yang kurang dimanfaatkan oleh pemerintah Sulsel untuk menambah devisa daerah. Itu hanya beberapa contoh manfaat ekowisata berbasiskan ekosistem hutan mangrove. Belum lagi tambahan devisa dari pariwisata bawah laut. Hmmm. Banyak keindahan alam Sulsel yang belum dioptimalisasi dengan baik.
Misalnya daerah Delta Sungai Tello dan Desa Lakkang, disana banyak mangrove yang tumbuh disana. Naumn kurang dimanfaatkan sehingga tidak menimbulkan manfaat apa-apa bagi pemerintah maupun masyarakat. Mungkin catatan kecil tentang pariwisata berbasiskan ekologi bisa menambah ide tentang strategi pariwisata Sul-sel.

*tulisan ini dibuat untuk mengikuti Lomba Konten Blog South Sulawesi

Pariwisata Berbasiskan Ekologi dan Pendidikan (Eko-Edu-Tourism); Studi Kasus Hutan Mangrove Sulsel

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua. Quis ipsum suspendisse vel facilisis.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *


Categories

    Trending posts

    No posts found

    Subscribe

    Lorem ipsum dolor amet, consecte- tur adipiscing elit, sed tempor.