Gue mau cerita tentang kehidupan gue selama Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Pulau Sebatik, Kalimantan Timur. dari Juni-Juli 2012, gag kerasa cuman sebulan.. hehehehe.
Sebanyak 20 mahasiswa Unhas mendapatkan kesempatan untuk melaksanakan KKN di daerah perbatasan Indonesia dan Malaysia. Pulau Sebatik namanya. Satu pulau dengan dua daerah administratif, bagian selatan dimiliki Indonesia, bagian utara dimiliki Malaysia. Klaim kepemilikan Pulau Sebatik oleh Malaysia didasarkan pada faktor sejarah dimana Pulau Sebatik dahulunya merupakan daerah jajahan Inggris yang dipinjamkan kepada Belanda untuk digunakan sebagai pangkalan laut Belanda. Sedangkan klaim kepemilikan Pulau Sebatik oleh Indonesia didasarkan bahwa Pulau Sebatik merupakan wilayah kesultanan Bulungan dan bila didasarkan pada landasan kontinen secara alami menyatakan bahwa Pulau Sebatik dan wilayah Karang Unarang merupakan terusan dari daratan Kalimantan Timur, bukan Sarawak.
Metode ini adalah cara penentuan secara hukum internasional mengenai klaim pulau tak bertuan. Mengenal Sebatik, mungkin ingatan kita akan terlempar masalah Ambang Batas Laut (Ambalat) yang pernah diderukan beberapa tahun silam. Rasa patriotisme kita seakan dibakar ketika mendengar salah satu wilayah Indonesia diklaim kepemilikannya. Namun ada yang salah ketika aku mencoba mengenal Sebatik lebih dekat. Pemerintah Indonesia seakan “tutup mata” dengan keadaan Pulau Sebatik. Tak bisa dimungkiri, masyarakat Sebatik lebih dekat dengan Malaysia. Bahan pokok yang beredar di Sebatik didominasi produksi Malaysia. Mulai dari telur, daging, tepung, hingga garam. Masyarakat lebih mengenal produk Malaysia dibandingkan Indonesia. Karena itu tak aneh jika kita berbelanja di Sebatik dengan mata uang rupiah dan mendapatkan uang kembalian berupa ringgit. Disana, dua mata uang sama-sama dihargai.
Kesan pertama ketika menginjakkan kaki di Sebatik, saya disuguhkan dengan bahasa Bugis yang kental oleh seorang pengemudi kapal. Bahasa yang akrab di telinga saya, ternyata Sebatik didominasi oleh suku Bugis. Sisanya adalah suku asli Kalimantan seperti suku Dayak dan Banjar. Jadi jangan heran, kita bisa mendengar bahasa Bugis sebagai salah satu bahasa percakapan sehari-hari.
Selain itu jangan heran dengan nama kampung di Sebatik. Disana ada beberapa nama kampung yang didominasi oleh warga di kampung Sulawesi Selatan, sebut saja Kampung Enrekang, Kampung Pinrang, Kampung Wajo, Kampung Sidrap dan lainnya. Ada beberapa hal yang harus menjadi perhatian pemerintah. Misalnya saja kurangnya sarana air bersih, ada beberapa sumur publik yang dibuat dipinggir jalan. Untuk penggunaan air di rumah, warga masih menggunakan sarana air tadah hujan. Untuk Mandi Cuci Kakus (MCK), warga masih sering menggunakan WC lempar. Ehm..
Tak hanya itu, dari segi lingkungan, lahan Sebatik sudah masuk dalam kategori kritis. Kawasan hijau Pulau Sebatik semakin menipis dari tahun ke tahun, menurut warga, lahan kelapa sawit semakin menggerus hijaunya hutan Sebatik. Padahal ada beberapa jenis hewan endemik di Sebatik seperti Bekantan dan monyet-monyet. Mereka hidup di hutan Sebatik yang masih belum terjamah tangan-tangan jahil.
Sebenarnya, ada dilema yang dihadapi dalam pengembangan kelapa sawit di Sebatik. Keuntungan kelapa sawit membuat lapangan pekerjaan semakin banyak. Untuk gaji setiap pekerja saja sekitar 2 juta untuk setiap kali panen. Itupun membuka lowongan pekerjaan untuk sekira 500 orang. Untuk setiap kali panen, pemilik kebun bisa mendapatkan laba bersih sekira 50 juta. Ckckckc. Tapi, disisi lain, pohon-pohon ditebang untuk dialih fungsi menjadi lahan kelapa sawit. Sangat dilematis.
Mahasiswa KKN Unhas di Pulau Sebatik melaksanakan program kerja dari Direktorat Jenderal Kelautan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (Ditjen KP3K). Seperti pengolahan ikan menjadi produk olahan bernilai jual lebih tinggi, pembudidayaan rumput laut dan pembesaran kepiting bakau. Karena di Pulau Sebatik memiliki potensi kelautan perikanan yang sangat potensial untuk dikembangkan.
Pulau Sebatik memiliki banyak keunggulan sebagai kawasan “gerbang” dan “beranda” depan negara Indonesia. Pemerintah seharusnya memberikan perhatian lebih agar masyarakat di Sebatik memiliki keterikatan batin dengan negara ini. Karena Sebatik adalah bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). NKRI Harga Mati!!
*ditulis dan dimuat di Koran Kampus Identitas Universitas Hasanuddin
edisi Akhir Agustus 2012 rubrik Lintas