Hamil di Belanda sebagai Master student di Wageningen University. Sebenarnya tulisan ini tiba-tiba aja karena setelah tulisan tentang Hi, Utun publish, banyak yang nanya gimana rasanya hamil di Belanda. Jadilah saya ingin sedikit menceritakan tentang kehamilan saya selama di Belanda. Catatan, saya ketauan hamil saat usia kandungan memasuki umur 7 minggu. Sekarang alhamdulillah Utun sudah berumur 13 minggu. 🙂

Hamil di Belanda, hanya ke Bidan

Setelah saya tau saya hamil, saya langsung bingung. Gak tau harus ngapain. Nanya sama Mbak Astin, salah satu tetangga di Bennekom. Dia bilang “Mbak Adhie, ,kamu langsung telepon ke bidan di Ede, mbak. Nanti dibikinin jadwal ketemu,” ujarnya panjang sambil menjelaskan. Mbak Asti menyebutkan nama Verlooskundige EVA. Setelah saya dapat nama bidan yang akan saya gunakan nanti, saya segera menelpon nomor yang tertera di website. Saya ingat menelpon nomor tersebut di saat makan siang Terdengar nada orang kaget ketika saya telpon. Setelah saya menjelaskan bahwa test pack saya bergaris dua, dia malah bilang “Congratulation for your preganancy, but this is emergency number,” jawab suara diseberang telpon sambil tertawa. Hahah. Ternyata saya malah menelpon nomor emergency. Ada dua nomor yang tertera di website dan saya malah menelpon nomor emergency. Hahah.

Akhirnya keesokan harinya saya pun menelpon nomor yang lain. Saya diminta mengisi formulir dan membawanya saat jadwal temu nanti. Di Belanda, kita gak bisa langsung datang bertemu dengan bidan. Kita akan diberikan jadwal temu atau afspraak. Kalau kita bisa datang, kita akan dikirimkan email dengan isi jadwal temu dan lokasi tempat.

tempat praktik bidan
banyak nama anak disini

Saya bertemu dengan bidan pada tanggal 19 Februari 2019. Ketika tiba disana, saya hanya ditanya mengenai riwayat penyakit. Apakah saya punya riwayat penyakit diabetes, apakah saya merokok, apakah suami merokok atau minum alkohol, apakah ada riwayat down syndrome sebelumnya, apakah pernah masuk rumah sakit karena penyakit berat dan beberapa pertanyaan lainnya. Selain itu saya diperiksa juga tekanan darah dan dinyatakan normal oleh bidan.

Bidan juga meminta saya untuk melakukan tes darah di Rumah Sakit Ede atau Ziekenhuis Gelderland Valley Ede. Disana saya hanya diambil 5 botol sampel darah. Katanya sih untuk mengecek apakah saya punya penyakit sebelum hamil seperti Hepatitis, Rubella, dan gula darah. Hasilnya akan diberitahu ketika saya check up ke bidan berikutnya.

Hamil di Belanda, Wajib punya Asuransi

Asuransi ini sangat penting bagi ibu hamil. Karena setiap kali kita pergi ke rumah sakit ataupun ke bidan, semua biaya akan dicover oleh asuransi. Ada sih kemungkinan bayar langsung gitu, tapi bisa sangat-sangat-sangat mahal. Jadi sangat penting untuk punya asuransi.

Bidan kami sih udah bilang kalau kehamilan disini akan habis sekitar 1500 euro, semua bisa ditanggung asuransi. Karena saya masih punya asuransi AON Student, saya masih bisa ditanggung. Kalau dari yang saya baca AON masih mau menanggung kehamilan asalkan kehamilan ada saat kita sudah di Belanda. Kalau kita sudah hamil sejak sebelum datang ke Belanda, AON tidak akan menanggung biaya asuransinya. Ckckck.

Nah dari blog lain ada beberapa jenis asuransi yang bisa mengcover kehamilan. Misalnya saja Menzis Extra Verzorgd 2 yang dicover segalanya. Katanya sih Menzis ini bisa juga mengcover kraamzoorg atau orang yang akan bantu-bantu kita pasca melahirkan.

Hamil di Belanda, Gak Ada Mitos Tentang Makanan

Ketika pemeriksaan kedua, saya mulai sering bertanya tentang makanan. Karena sebelum saya tau saya hamil, saya sudah memakan banyak makanan pantangan yang dikatakan oleh teman-teman saya di Indonesia. Misalnya ibu hamil dibilang gak boleh makan nanas, menurut Verlooskundige, ternyata itu hanya mitos. Buah nanas yang biasa kita makan tidak akan menyebabkan keguguran. Kecuali jika kita ikut memakan bagian tengah nanas. Karena memang bagian tengah nanas itulah yang menyebabkan keguguran.

Selain itu bidan juga menyarankan untuk banyak makan. Makan apapun. Tak perlu ada ketakutan berlebih. Ia menyarankan agar selalu mencuci setiap buah atau sayuran yang ingin saya makan. Bidan tidak merekomendasikan untuk memakan hati ayam ataupun hati sapi. Karena di dalam hati banyak mengandung Vitamin A dan Vitamin A yang terlalu tinggi tidak baik untuk bayi.

perbanyak makan salad

Bidan juga memperingatkan saya untuk tidak memakan seafood yang belum matang. Padahal ketika saya belum tau sedang hamil si Utun saya makan sushi banyak di saat ulang tahun saya. Heheh. Selain itu saya juga dilarang makan ikan harring mentah. Hiks. Padahal saya suka banget sama ikan itu. Jadi bidan menganjurkan saya untuk makan banyak buah dan sayur.

Hamil di Belanda, Susah Kalau Ngidam Makanan Indonesia

Nah ini adalah hal yang paling sulit saya kompromikan dengan si Utun maupun dengan suami. Saya benar-benar ngidam nasi padang. Membayangkan makan rendang dengan sambal hijau dan sayur daun singkong membuat saya ileran. Kalau kata orang sih harus diturutin. Tapi karena agak susah untuk mendapatkan nasi padang di Belanda, saya berusaha mengajak kompromi si Utun.

muka craving

Menurut senior-senior di IKA Unhas, ada kalanya kita harus belajar kompromi dengan dedek bayi. “Ajak dia berbicara dan jelaskan keadaan yang sedang kalian hadapi. Bayi harus belajar bersabar, Ibunya juga,” jelas Kak Isdah sambil mengelus perut saya. Sejak itu saya pun selalu mengajak Utun berbicara. Jika saya tiba-tiba ingin sesuatu, saya ajak dia berbicara sambil menguatkan dia. Sepertinya hal ini berhasil. Saya sudah tak terlalu ngidam dengan makanan Indonesia.

Jika beruntung ada makanan Indonesia, kami berdua akan makan dengan lahap. Walaupun seringkali dimuntahkan, tapi paling tidak saya mencicipi. Beberapa kali ada teman yang berbaik hati memasakkan makanan Indonesia seperti coto makassar, rendang, rawon ataupun bubur manado. Jadi saya tak terlalu craving banget sih. Sebagai gantinya saya banyak mengonsumsi buah-buahan. Karena sayur gak bisa masuk ke mulut. Entah kenapa. Hiks.

Hamil di Belanda, Masih Boleh Beraktivitas

Ada satu hal yang membuat banyak teman saya agak kaget. Karena saya masih bersepeda walaupun sudah dinyatakan hamil. Kalau di Indonesia mungkin sudah banyak larangan ini dan itu. Tapi di Belanda agak sulit rasanya jika harus berpisah dengan sepeda. Sepeda adalah bagian dari kehidupan sehari-hari.

Menurut bidan yang menangani saya, tak apa jika harus tetap memakai sepeda. Dia hanya berpesan agar saya tahu dimana batasan diri saya. Jika saya sudah merasa lelah, saya harus berhenti. Jika saya merasa ada sesuatu yang membuat saya tak nyaman selama bersepeda, semua itu bisa dikonsultasikan kepada bidan. “Jalur telepon kami selalu terbuka setiap hari, jadi kalau ada masalah, please let us know,” ujar Bidan Connie yang menangani saya.

main squash bareng Peter

Selain bersepeda, saya juga masih aktif bermain Squash di saat kehamilan usia 7 minggu. Haha. Dan lagi-lagi Bidan Connie tidak mempermasalahkan hal itu. “Stay active is good for pregnant women, you just need to know when you need to stop,” katanya lagi. Kalau dari kata-katanya sih, dia gak mempermasalahkan saya mau olahraga apapun asalkan saya tahu batasan diri saya.

Hamil di Belanda, Segera Beritahu Kolega

Setelah saya benar-benar yakin ada si Utun di dalam perut, saya pun segera mengabari Supervisor dan Study Advisor saya di kampus. Hal ini harus saya lakukan karena hamil di tahun kedua kuliah sangat mengerikan, mengingat beban thesis yang harus diselesaikan.

Ketika berbicara dengan Study Advisor, dia ikut berbahagia namun khawatir juga. Heheh. Karena menurutnya kehamilan tanpa keluarga dan sanak saudara bisa jadi sangat berat. Tapi dia ikut membantu mengatur segalanya. Kami berdiskusi tentang kemungkinan untuk mengajukan cuti melahirkan. Setelah itu saya juga bertemu dengan Supervisor Thesis. Ia pun juga mengutarakan hal yang sama. “Congratulation, Adlina,” ujarnya Simon. Kami pun juga menyusun strategi dan jadwal yang ketat agar saya bisa menyelesaikan kuliah di waktu yang tepat.

Setelah bertemu dengan mereka berdua, saya juga dijadwalkan untuk bertemu dengan Student Dean. Karena kasus saya agak menakutkan. Saya akan lahiran di bulan Oktober, berarti September di saat saya harusnya sedang presentasi thesis, saya harus mempersiapkan lahiran. “Lahiran tidak mudah, I know a lot of student faced this problem. We can find solution for this,” ujar Student Dean. Dari pertemuan dengan study advisor, supervisor dan student dean, akhirnya saya menemukan jalan keluar dari pertanyaan yang menggelayut.

Hamil di Belanda, Kalian Bisa Dapat Hadiah (Zwangerschapboxen)

Nah ini yang paling saya suka. Beberapa toko di Belanda memberikan hadiah bagi ibu hamil ketika sudah menginjak umur lima bulan. Ibu hamil bisa mengirimkan email untuk mendapatkan box bayi yang biasanya berisi hadiah-hadiah untuk bayi ketika lahir nanti.

Kalau dari beberapa blog yang saya baca sih, kado ini diberikan untuk memberikan rasa senang kepada ibu hamil dalam menghadapi bayinya nanti. Banyak barang-barang bayi yang dibutuhkan oleh bayi nantinya. Kalian bisa ngecek situs ini untuk dapat barang-barang bayi.

Hmmm, sepertinya segini dulu deh cerita tentang kehamilan di Belanda. Kalau ada tambahan, saya akan coba masukkan di tulisan yang lain. 🙂

 

ditulis di Asserpark 10 C

17:45, Saturday, 7 April 2019

sambil dengar lagu Nidji – Bila Aku Jatuh Cinta

Hamil di Belanda sebagai Student #Kehamilan Part 1

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua. Quis ipsum suspendisse vel facilisis.

3 Responses

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Categories

Trending posts

No posts found

Subscribe

Lorem ipsum dolor amet, consecte- tur adipiscing elit, sed tempor.