Ini adalah catatan dari seminar “Nicotine War, perang anti tembakau dan pedagang obat”. Dilaksanakan di Pusat Kegiatan Penelitian Universitas Hasanuddin, Senin (26/7)
beberapa macam racun yang terkandung dalam rokok (anisanurul.wordpress.com/2009/10…a-rokok/)
Selama ini kita mengetahui bahwa rokok berbahaya bagi kesehatan. Banyak penelitian yang menunjukkan bahwa kandungan rokok yang terdiri dari bahan radioaktif (polonium-201) dan bahan-bahan yang digunakan di dalam cat (acetone), pencuci lantai (ammonia), ubat gegat (naphthalene), racun serangga (DDT), racun anai-anai (arsenic), gas beracun (hydrogen cyanide) yang digunakan di “kamar gas maut” bagi pesalah yang menjalani hukuman mati, serta masih banyak lagi. Dan zat pada rokok yang paling berbahaya adalah Tar, Nikotin dan Karbon Monoksida bisa mempengaruhi kinerja paru-paru. Banyak penyakit yang disebabkan oleh asap rokok seperti serangan jantung, kanker, gangguan kehamilan dan janin. Ini untuk perokok aktif dan menurut penelitian, akan lebih berakibat besar ketika orang yang tidak merokok (perokok pasif) menghisap hasil pembakaran tembakau.
Tapi menurut Wanda Hamilton (penulis buku Nicotine War), penelitian yang selalu mendukung untuk melakukan propaganda anti tembakau ternyata di back-up oleh perusahaan farmasi. Agenda global untuk anti tembakan sarat akan kepentingan bisnis perdagangan obat-obatan yang dikenal sebagai Nicotine Replacement Theraphy (NRT). Bisa dibilang agenda anti tembakau adalah strategi pemasaran dari produk-produk NRT ini.
Dukungan penuh akan aksi global ini datang dari World Health Organization (WHO). Maraknya perang global terhadap tembakau diawali dengan Prakarsa Bebas Tembakau (Free Tobacco Inisiative) yang masuk dalam WHO Cabinet Project. Program ini merupakan pelaksanaan kebijakan WHO “Health for All in the 21st Century” (kesehatan untk semua di abad 21).
Dan program anti tembakau ini mendapat dukungan dana dari tiga korporasi farmasi besar, yakni Pharmacia & Upjohn, Novartis, dan Glaxo Wellcome. Masing-masing korporasi menyuntikkan dana sebesar US$250,000 untuk dukungan mereka terhadap WHO’s Nicotine Replacement Theraphy. Pada tanggal 30 Januari 1999, Direktur Jendral WHO, Dr. Gro Harlem Brundtland umumkan partnership ini.
Pertanyaannya adalah mengapa tiga korporasi farmasi ini memberikan dana dukungan untuk Prakarsa Bebas Tembakau WHO?? Dan pernyataan dari Brundtland menjawab pertanyaan ini, menurutnya ketiga korporasi tersebut adalah manufaktur produk-produk NRT.
Penulis buku Nicotine War, Wanda Hamilton menerangkan bahwa ada kepentingan bisnis di balik agenda ini. Pertama; lewat proyek ini industri tembakau dapat dibunuh, atau paling tidak bisa dihambat perkembangannya. Kedua ; pada saat bersamaan industri farmasi dapat leluasa mempromosikan produk-produk therapi pengganti nikotin. Ketiga; hal pertama dan kedua dapat dilakukan melalui dan dengan dukungan WHO melalui kebijakan dan regulasi yang mematikan industri rokok dan mengembangkan produk-produk NRT.
Akhirnya pada tahun 1999, WHO mengeluarkan Advesory Kit dengan judul “Leave the Pack Behind”. Fokus utama WHO pada saat itu adalah “Smoking Cessation” (memberhentikan merokok). Dan itu artinya sekalian mempromosikan produk-produk dari korporasi farmasi. WHO gencar menawarkan treatment (pengobatan) yang sukses dengan biaya efektif, misalnya obat-obat pengganti nikotin dalam bentuk permen karet nikotin, patches, nasal spray, dan inhalers. Dan bersamaan dengan itu kampanye tentang bahaya merokok mulai terus terdengar. Mulai dari ahli farmasi, dokter, para politisi, para penggiat antitembakau, badan-badan nasional dan internasional. Mereka melakukan promosi lewat media, iklan, dan lain sebagainya. Dan mereka tidak luput mengajak pemuka agama di dunia guna mempresentasikan garis depan baru dalam mendukung sukses proyek Prakarasa Bebas Tembakau.
Dan seperti bisa diprediksikan karena mendapat dukungan dari berbagai pihak akhirnya obat-obatan bisa tumbuh pesat di seluruh dunia. Bahkan angka penjualannya mencapai 3 milyar dolar. Selama 15 tahun kedepan, pertumbuhan menyeluruh dari pemasaran produk-produk NRT ini akan meningkat yang dikontribusi oleh kelompok negara Brazil, Rusia India, dan China (BRIC).
Tapi, disisi lain penggunaan obat-obat bukan tanpa resiko. Otoritas Food and Drugs Administration (FDA) memberikan peringatan untuk hati-hati dan mewaspadai terhadap apa yang disebut sebagai tanda-tanda penyakit mental serius (signs of serious mental illness) yang menyebabkan tindakan bunuh diri diantara para pemakain obat-obatan ini.
Penelitian yang selalu dijadikan tameng bagi penggiat anti rokok ternyata terbantahkan. Menurut penelitian Robert A Levy (ketua dewan direksi Cato Institute) dan Rosalind B Marimont (ilmuwan) pada artikel yang mereka tulis bertajuk “Lies, Damned Lies and 400.000 Smoking Related Deaths” (Regulation, Vol. 21 No. 4, 1998). Disini mereka mengungkap bahwa pernyataan 400.000 kematian prematur setiap tahun di Amerika akibat merokok merupakan kebohongan besar. Hal ini Cuma mantra untuk menjustifikasi semua tindakan regulasi dan legislasi tembakau. Hal serupa jugaa ditulis oleh Judith Hatton di dalam buku “Murder a Cigarette”. Pernyataan WHO tentang bahaya merokok tidak lain merupakan propaganda yang tidak dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah.
Karena kritis terhadap propaganda terhadap anti merokok, mereka pun menunjukkan beberapa hasil penelitian dan kajian ilmmiah, diantaranya seperti yang dimuat dalam British Journal of Cancer (2002) yang membuktikan tidak adanya hubungan antara merokok dengan resiko kanker payudara. Hasil studi lain yang dikenal dengan sebutan “Roll Royce of Studies” menjelaskan tidak adanya hubungan antara merokok dengan sakit jantung. Dan masih ada beberapa kajian yang menunjukkan bahwa tidak ada kaitannya antara merokok dan penyakit seperti kanker dan paru-paru.
Disinilah yang menjadi perdebatan antara kaum medis yang dominan anti rokok dan orang pro terhadap tembakau. Bagaimana para panelis melihat ini? Menurut mereka apa yang Wanda Hamilton sangat benar. Karena Indonesia bukan tipe peneliti, maka bangsa ini terus mengamini apa yang dibilang oleh WHO. Karena percaya akan penelitian orang luar, sampai kita sendiri tidak pernah membuat riset mengenai rokok. Kebijakan tentang penghentian tembakau sebenarnya adalah kebijakan yang diputuskan tanpa menggunakan riset terlebih dahulu.
Belum lagi, jika agenda anti rokok dilakukan di Indonesia siapa yang akan memberi nafkah 6 juta rakyat yang hidupnya tergantung dari rokok? Membunuh tembakau dengan segala industrinya di Indinesia akan menyebabkan naiknya angka pengangguran. Dan setiap 10% kenaikan penganggur menyebabkan kematian naik jadi 1,2 %, serangan jantung 1,7 % dan harapan hidup berkurang jadi 7 tahun.
Jadi yang seharusnya dilakukan oleh para petinggi di Indonesia bagaimana bisa membuat kebijakan yang tetap membuat Indonesia terus menjadi bangsa yang sehat. Tanpa perlu membuat pengangguran naik sekitar 10%.
adlien_coolz

(diambil juga dari berbagai sumber)

NB : Artikel ini bukan untuk membenarkan para perokok. Tapi, untuk membuka mata bahwa ada kepentingan-kepentingan bisnis dibalik agenda yang dianggap benar oleh para penggiat anti rokok. Semua tergantung dari anda melihat fungsi dan akibat dari rokok.

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua. Quis ipsum suspendisse vel facilisis.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Categories

Trending posts

No posts found

Subscribe

Lorem ipsum dolor amet, consecte- tur adipiscing elit, sed tempor.