Ada 9 elemen jurnalistik yang harus dipelajari oleh para jurnalis. berikut adalah 9 elemen jurnalistik tersebut yang dibawakan oleh Uni Lubis selaku salah satu anggota Dewan Pers Nasional di Acara Diklat Dasar Jurnalistik Pk Identitas Unhas pada tanggal 14 Maret 2012.
1. Kewajiban pertama jurnalisme adalah pada kebenaran
Bayangkan jika informasi yang disampaikan jurnalis ke publiknya salah. Bisa karena kurang lengkap, bias, informasi bohong atau salah? Kewajiban utama seorang jurnalis adalah pada kebenaran, bukan sekedar puas melaporkan fakta, karena fakta sering kali disodorkan ke depan jurnalis dengan agenda tertentu. Kewajiban jurnalis adalah mempertanyakan fakta itu. Kenapa saya harus percaya fakta ini? Siapa yang ingin agar saya mempercayai fakta ini? Pencarian soal “WHY” itu menjadi kunci menemukan kebenaran. Dalam konteks peliputan soal konflik atau perang yang menerapkan konsep Jurnalisme Damai (Peace Journalism), kegigihan seorang jurnalis mencari kebenaran ditekankan untuk menghindari kekuatiran ada pihak yang memanipulasi jurnalis dengan menyodorkan fakta. Fakta tidak datang ke jurnalis secara ‘innocent’.
} The history of conflict coverage is replete with examples of journalists being manipulated because they believed they were ‘just reporting the facts’. Peace journalism, by setting down this burden, leads us to apply an equal scrutiny to all sides: ‘who wants me to believe this and why?’ (McGoldrick and Lynch [2000]; p. 26).
Kasus pengusaha Setiadjie yang ditangani Dewan Pers di awal tulisan ini menunjukkan betapa jurnalis peliput pada saat itu hanya puas dengan menelan ‘fakta’ yang disodorkan Setiadjie dan pihak Kepolisian Daerah Metro Jaya. Tangan dibor, kepala dipahat adalah keterangan versi mereka. Tetapi jurnalis yang hadir saat itu tidak mau mencari kebenaran, dengan mengecek secara fisik apakah benar ada bekas tangan yang dibor? Kepala yang dipahat? Jurnalis juga tidak mencari keberimbangan dari pihak yang dituduh menyiksa Setiadjie. Meliput sebuah keterangan pers atau mewawancarai seseorang mengenai sebuah kasus yang bernuansa konflik, adalah melaporkan fakta. Tetapi belum menjadi sebuah kebenaran. Untuk sampai ke sana butuh disiplin verifikasi.
Perlu disadari oleh semua pihak bahwa “kebenaran jurnalistik” bukanlah kebenaran hukum. Kebenaran jurnalistik adalah kebenaran pada saat fakta itu disampaikan ke hadapan jurnalis. Ketika sebuah kecelakaan maut terjadi, laporan jurnalis soal korban tewas bisa berubah dari waktu ke waktu bergantung kepada informasi pihak yang berwenang (siapa yang berwenang???). Jurnalis terus menggali dan mengikuti perkembangan berita untuk melaporkan selengkap dan seakurat mungkin kepada khalayaknya. Ini proses menyajikan kebenaran kepada publik.
Dalam kasus pengakuan pengusaha Setiadjie di atas, jurnalis merasa nyaman melaporkan karena pernyataan yang disodorkan sebuah lembaga resmi mestinya dipercayai. Ini yang sering menjebak.Sikap skeptis perlu diberlakukan kepada semua pihak termasuk lembaga resmi sekalipun. Setiap kali jurnalis menyiarkan secara sepihak sebuah konperensi pers yang dilakukan seorang Presiden yang menyampaikan angka kemiskinan yang menurun tahun ini. Dalam proses mencari kebenaran jurnalis akan menindaklanjuti konperensi pers itu dengan mengecek data lain sebagai pembanding termasuk meliput ke lapangan untuk melihat situasi yang ada. Sekali lagi, mencari kebenaran adalah proses. Interaksi antara jurnalis dengan narasumber dan publik membantu proses mencari kebenaran itu. Di era digital saat ini ada elemen ke-10 yang berperan, yakni warga.
2.Loyalitas pertama jurnalisme adalah kepada warga (citizens)
Kritik kepada media (dan jurnalis) belakangan ini adalah soal independensi. Tudingan ini kian marak di tengah beragam isu bernuansa politik yang menjadi sajian media. Media dianggap terkooptasi oleh kepentingan pemiliknya, baik kepentingan bisnis, apalagi politik Pertanyaan yang paling sering dilontarkan kepada media adalah: Bagaimana (Bisakah) Anda bersikap independen terhadap kekuasaan pemilik?
Sesungguhnya selain pemiliknya, media harus melayani beragam pemangku kepentingan, mulai dari masyarakat/komunitas sekitar, pengiklan, pemerintah/regulator (terutama bagi media penyiaran), pemegang saham publik (untuk yang sudah tercatat di bursa saham). Esensi jurnalisme mewajibkan media menempatkan kepentingan publik/warga (citizen) di atas semua kepentingan lain Bisakah? Seringkali sulit, tetapi bukan tidak bisa dilakukan, terutama di era industri media. Kuncinya adalah kemauan membangun persepsi yang sama atas pentingnya menerapkan Kode Etik Jurnalistik atas semua produk jurnalistik, justru untuk kelangsungan bisnis media itu sendiri.
Kesetiaan utama kepada warga bisa diartikan jurnalis harus memahami keinginan warga. Satu aspek dari industri, yakni pentingnya memahami keinginan pasar, dalam arti positif bisa ditujukan untuk semaksimal mungkin melayani kepentingan warga.
Kesetiaan kepada warga didasari atas kemampuan bersikap independen dalam melaksanakan kebijakan editorial peliputan. Jika jurnalis dan organisasi medianya berhasil menjalin hubungan (engagement) dengan warga, maka keuntungan bisnis dengan sendirinya akan datang. Keuntungan finansial sebuah organisasi media, biasanya mendukung independensi media atas pemangku kepentingan terutama pemilik saham.
Independensi adalah mengelola editorial berdasarkan hati nurani, kesadaran penghormatan profesi dan kepentingan publik.
INDEPENDENSI artinya TIDAK NETRAL
3.Esensi jurnalisme adalah disiplin verifikasi
Berita mengenai 90% hakim layak dipecat mengandung masalah yang mendasar: dari mana sumber data yang dilansir narasumber dalam berita itu kepada jurnalis? Jurnalis harus bersikap kritis atas setiap fakta dan data yang disodorkan narasumber. Berita Setiadjie mengandung kelemahan dasar, jurnalis gagal (lalai) lakukan verifikasi atas kebenaran pengakuan penyiksaan. Kalau tangannya dibor, kepalanya dipahat, tentu bekas lukanya masih ada. Disiplin verifikasi menjadi kunci kualitas jurnalis dan karyanya
Pada akhirnya disiplin verifikasi adalah cara membedakan jurnalisme dengan gosip hiburan, propaganda, fiksi atau seni. Jurnalisme harus fokus menggali lebih dalam apa yang terjadi. Disiplin verifikasi itu sendiri sering dikatakan bersifat personal, sering disalahpahami dan menimbulkan kebingungan atas salah satu nilai penting dalam jurnalisme: obyektivitas.
Ketika konsep obyektivitas muncul, itu tidak hanya mensyaratkan bahwa jurnalis harus bebas dari bias. Obyektivitas adalah keharusan jurnalis membangun metode pemeriksaan kebenaran atas informasi yang diperolehnya secada konsisten (a transparant approach to evidence). Jika metode dilakukan dengan baik, maka bias personal maupun kultural tidak akan menutupi kualitas karya, misalnya dalam hal akurasi. Dalam konsep orisinalnya, obyektif adalah metode yang digunakan, bukan si jurnalis. Kuncinya disiplin verifikasi, bukan tujuannya.
Ada sejumlah prinsip intelektual dalam peliputan:
1) Jangan menambah-nambahkan sesuatu yang tidak ada;
2) Jangan mengecoh audiens;
3) Bersikaplah transparan sedapat mungkin tentang motif dan metode Anda;
4) Lebih mengandalkan pada liputan orisinal yang dilakukan sendiri;
5) Bersikap rendah hati, tidak menganggap diri paling tahu.
Pertanyaan apakah media bisa bersikap obyektif jika dimiliki oleh pihak yang punya kepentingan politik dan bisnis jawabannnya adalah:
#AKURASI
#VERIFIKASI
#TRANSPARANSI
4. Jurnalis harus tetap independen dari pihak yang mereka liput
Seringkali jurnalis dikritik karena meliput kegiatan sang pemilik. Bolehkah? Jawabannya terletak pada hati nurani jurnalis dan sidang redaksi. Apakah kegiatan yang diliput memiliki nilai berita? Memenuhi kriteria layak berita yang diterapkan oleh redaksi? Apakah peliputan dilakukan secara proporsional? Apakah orang lain mendapatkan perhatian yang sama dalam ruang berita? The voiceless? Yang termarjinalkan?
Independensi tidak berarti netral. Sah saja berpihak, sepanjang dilandasi kesetiaan pada profesi, yakni kepentingan publik. Pada saat menentukan mana berita yang akan disiarkan dari ratusan berita yang masuk ke ruang redaksi, jurnalis sudah melakukan pemihakan, pemilahan. Ada yang diberitakan, ada yang tidak. Pada saat menentukan siapa yang diwawancarai untuk sebuah berita, jurnalis memilih. Memihak. Pemihakan didasari atas kriteia berita, penyajian berita dilakukan dengan memperhatikan Kode Etik Jurnalistik. Kuncinya: transparansi, akurasi, verifikasi. Semua berita mendapatkan perlakuan yang sama.
Kolom Opini dan Editorial bisa memihak. Berita harus penuhi kaidah Etika Jurnalistik.
Independensi bukan perkara gampang. Bukan cuma tekanan dari luar yang bisa mempengaruhi. Pengalaman dan latar belakang kehidupan jurnalis pun bisa mempengaruhi sudut pandang si jurnalis, mulai dari agama, gender, pendidikan, status sosial ekonomi. Jurnalis adalah manusia. Dalam situasi seperti ini penting untuk menjadikan kehormatan profesi dan etikanya sebagai pegangan dalam menghasilkan karya.
#Elemen selanjutnya sebagaimana dimuat dalam buku Bill Kovach dan Tom Rosentiel dan disarikan oleh Satrio Arismunandar (2009):
5. Jurnalis harus melayani sebagai pemantau independen terhadap kekuasaan
Jurnalis harus bertindak sebagai pemantau independen terhadap kekuasaan. Wartawan tak sekedar memantau pemerintahan, tetapi semua lembaga kuat di masyarakat. Pers percaya dapat mengawasi dan mendorong para pemimpin agar mereka tidak melakukan hal-hal buruk, yaitu hal-hal yang tidak boleh mereka lakukan sebagai pejabat publik atau pihak yang menangani urusan publik. Jurnalis juga mengangkat suara pihak-pihak yang lemah, yang tak mampu bersuara sendiri.
Prinsip pemantauan ini sering disalahpahami, bahkan oleh kalangan jurnalis sendiri, dengan mengartikannya sebagai “mengganggu pihak yang menikmati kenyamanan.” Prinsip pemantauan juga terancam oleh praktik penerapan yang berlebihan, atau “pengawasan” yang lebih bertujuan untuk memuaskan hasrat audiens pada sensasi, ketimbang untuk benar-benar melayani kepentingan umum.
6. Jurnalisme harus menyediakan forum bagi kritik maupun komentar dari publik
Pada 11 September, kota Ambon kembali diguncang bentrokan.
Apapun media yang digunakan, jurnalisme haruslah berfungsi menciptakan forum di mana publik diingatkan pada masalah-masalah yang benar-benar penting, sehingga mendorong warga untuk membuat penilaian dan mengambil sikap.
Maka, jurnalisme harus menyediakan sebuah forum untuk kritik dan kompromi publik. Demokrasi pada akhirnya dibentuk atas kompromi. Forum ini dibangun berdasarkan prinsip-prinsip yang sama sebagaimana halnya dalam jurnalisme, yaitu: kejujuran, fakta, dan verifikasi. Forum yang tidak berlandaskan pada fakta akan gagal memberi informasi pada publik.
Sebuah perdebatan yang melibatkan prasangka dan dugaan semata hanya akan mengipas kemarahan dan emosi warga. Perdebatan yang hanya mengangkat sisi-sisi ekstrem dari opini yang berkembang, tidaklah melayani publik tetapi sebaliknya justru mengabaikan publik. Yang tak kalah penting, forum ini harus mencakup seluruh bagian dari komunitas, bukan kalangan ekonomi kuat saja atau bagian demografis yang menarik sebagai sasaran iklan.
7. Jurnalisme harus berupaya membuat hal yang penting itu menarik dan relevan
Tugas jurnalis adalah menemukan cara untuk me
mbuat hal-hal yang penting menjadi menarik dan relevan untuk dibaca, didengar atau ditonton. Untuk setiap naskah berita, jurnalis harus menemukan campuran yang tepat antara yang serius dan yang kurang-serius, dalam pemberitaan hari mana pun.
Singkatnya, jurnalis harus memiliki tujuan yang jelas, yaitu menyediakan informasi yang dibutuhkan orang untuk memahami dunia, dan membuatnya bermakna, relevan, dan memikat. Dalam hal ini, terkadang ada godaan ke arah infotainment dan sensasionalisme.
8. Jurnalis harus menjaga agar beritanya komprehensif dan proporsional
Jurnalisme itu seperti pembuatan peta modern. Ia menciptakan peta navigasi bagi warga untuk berlayar di dalam masyarakat. Maka jurnalis juga harus menjadikan berita yang dibuatnya proporsional dan komprehensif.
Dengan mengumpamakan jurnalisme sebagai pembuatan peta, kita melihat bahwa proporsi dan komprehensivitas adalah kunci akurasi. Kita juga terbantu dalam memahami lebih baik ide keanekaragaman dalam berita.
9. Jurnalis memiliki kewajiban untuk mengikuti suara nurani mereka
Setiap jurnalis, dari redaksi hingga dewan direksi, harus memiliki rasa etika dan tanggung jawab personal, atau sebuah panduan moral. Terlebih lagi, mereka punya tanggung jawab untuk menyuarakan sekuat-kuatnya nurani mereka dan membiarkan yang lain melakukan hal yang serupa.Agar hal ini bisa terwujud, keterbukaan redaksi adalah hal yang penting untuk memenuhi semua prinsip jurnalistik. Gampangnya mereka yang bekerja di organisasi berita harus mengakui adanya kewajiban pribadi untuk bersikap beda atau menentang redaktur, pemilik, pengiklan, dan bahkan warga serta otoritas mapan, jika keadilan (fairness) dan akurasi mengharuskan mereka berbuat begitu.
Dalam kaitan itu, pemilik media juga dituntut untuk melakukan hal yang sama. Organisasi pemberitaan, bahkan terlebih lagi dunia media yang terkonglomerasi dewasa ini, atau perusahaan induk mereka, perlu membangun budaya yang memupuk tanggung jawab individual. Para manajer juga harus bersedia mendengarkan, bukan cuma mengelola problem dan keprihatinan para jurnalisnya.
Dalam perkembangan berikutnya, Bill Kovach dan Tom Rosenstiel menambahkan elemen ke-10. Yaitu:
10. Warga juga memiliki hak dan tanggung jawab dalam hal-hal yang terkait dengan berita.
Elemen terbaru ini muncul dengan perkembangan teknologi informasi, khususnya internet. Warga bukan lagi sekadar konsumen pasif dari media, tetapi mereka juga menciptakan media sendiri. Ini terlihat dari munculnya blog, jurnalisme online, jurnalisme warga (citizen journalism), jurnalisme komunitas (community journalism) dan media alternatif. Warga dapat menyumbangkan pemikiran, opini, berita, dan sebagainya, dan dengan demikian juga mendorong perkembangan jurnalisme. Buku terbaru Kovach dan Rosenstiel, BLUR: How To Know What’s True in The Age of Information Overload membahas mengenai elemen ke-10 ini secara menarik. ***