Pemandangan Pulau Neira dari Bandara
Mengunjungi Banda Neira adalah mempelajari jejak sejarah dan melihat bagaimana Indonesia di masa lalu. Menyempatkan diri ke tempat ini, akan memberikan kita banyak pelajaran sejarah. Dimana disana, sejarah seperti dibuang dan dilupakan. Di pelosok timur Indonesia masih ada jejak sejarah yang harusnya kita ingat dan kita pelajari. 
Dulu saya mengenal Banda karena sejarah mengenai kemerdekaan Indonesia. Sebuah kepulauan di timur Indonesia, salah satu pulau yang bernama Neira menjadi tempat pengasingan bapak proklamator Indonesia, Bung Hatta. Beliau diasingkan bersama para pejuang kemerdekaan lainnya. Sebut saja Sutan Syahrir, Dr. Tjipto Mangunkusumo, dan Iwa Kusuma Sumantri mereka tinggal di dekat rumah pengasingan Bung Hatta. Malahan menurut beberapa sumber yang saya baca, kerap mereka bermain sepak bola bersama. 
Tak bisa dipungkiri, Banda menjadi saksi sejarah bagaimana para proklamator memperjuangkan kemerdekaan bangsa Indonesia. Selain itu Banda juga menjadi saksi bisu bagaimana kekejaman kolonial Belanda terhadap bangsa kita demi rempah-rempah. 
Tahun 1512, setelah Malaka jatuh ke tangan Portugis, Fransisco Serrao, seorang penjelajah dan sepupu Ferdinand Maggellan, datang ke Banda. Mulai saat itu Banda jatuh ke tangan Portugis hingga abad 16 dan 17. Spanyol, Belanda, Portugal, dan Inggris juga memperebutkan kepulauan Banda karena buah pala (nutmeg)  pada saat itu dipercaya dapat menyembuhkan segala macam penyakit. Harga buah pala di Eropa melebihi harga emas pada saat itu. 
Sejarah mencatat hal yang menakjubkan mengenai Pulau Rhun, salah satu pulau dari enam pulau di Kepulauan Banda. Pada tahun 1665-1667, setelah Perang Anglo dan Belanda kedua, Inggris dan Republik Belanda menandatangani Perjanjian Breda (Treaty of Breda). Inggris mendapatkan pulau bernama Manhattan, dimana the Duke of York telah menngambil alih pada tahun 1664, menamakan kota di pulau tersebut menjadi New York (nama lamanya adalah Nieuw Amsterdam). Sedangkan Belanda tetap mendapatkan Pulau Run. Sejak itulah, Belanda mulai memonopoli perdagangan buah pala ke seluruh dunia. 
Namun pada tahun 1817, Captain Christopher Cole mulai mendapatkan Banda Lontor (sekarang Pulau Lonthoir), dan negara-negara lain mulai menanam tanaman cengkeh dan pala diberbagai tempat. Setelah tahun 1870 – 1890 adalah tahun keemasan kedua, supremasi Belanda dalam memiliki penjualan rempah-rempah mulai hancur perlahan-lahan. Banyak perkenier (tuan tanah) menjual kekayaannya, dan meninggalkan Banda. Kita bisa menemukan rumah Captain Cole di Pulau Neira. 
Pada saat Portugis menguasai Banda, banyak dibangun fasilitas untuk mengamankan pulau Banda. Kemudian ketika Belanda mengambil alih, banyak bangunan yang dipugar dan diperkuat agar bisa mengalahkan musuh. Selain itu banyak bangunan yang dibangun dengan gaya arsitektur lama. Jadi jangan heran jika kita datang ke Banda, akan disuguhkan pemandangan yang seakan-akan membawa kita ke zaman 400 tahun yang lalu. Saya seakan melihat para prajurit menari-nari dan mendengarkan musik klasik di Makatita Hall. Atau melihat para prajurit Belanda yang sedang berjaga di Benteng Belgica. Seakan-akan kita tersedot dalam pusaran magis masa lalu. 
Makatita Hall yang dulu digunakan sebagai tempat pertemuan dan juga pesta dansa
Namun berbicara soal penjajahan, pasti tidak akan kita lupakan para korban yang menjadi saksi kekejaman penjajahan. Ketika ke Pulau Neira, jangan lupa menyempatkan diri untuk ke Perigi Rante. Disana ada nama-nama Orang Kaya Banda yang ditebas oleh pasukan Jepang yang disewa oleh pihak Belanda. Orang kaya yang selamat, mereka melarikan diri ke pulau lain dengan menggunakan kora-kora (kapal tradisional Banda).  Saat ini kita akan bisa menemukan jejak sejarah orang kaya Banda di Pulau Banda Eli dan Pulau Kei. 
Pertama kali menginjakkan kaki di Banda, kita akan disuguhkan oleh masjid megah berwarna putih yang dibangun pada tahun 1979 oleh Des Alwi, sebagai jejak sejarah ketika Hatta dan Syahrir menginjakkan kakinya pertama kali di Neira. Kita akan melihat jalanan kecil yang mungkin berdiameter 4 meter dan hanya melihat orang berjalan kaki atau naik motor. Hanya ada tiga mobil yang saya lihat berlalu lalang disini, salah satunya adalah mobil ambulans. 😀
Masjid Hatta Syahrir yang dibangun untuk mengenang perjuangan mereka.
Sayangnya pada saat saya datang, cuaca sedang tak bersahabat. Hujan terus menerus membasahi bumi, karena memang sedang memasuki musim hujan. Namun walaupun hujan terus turun, tak menyurutkan semangat saya untuk terus mengeksplor pulau yang memiliki luas sekitar 19 km² .
Karena saya tersedot oleh pusaran magis masa lalu, kaki membawa saya menuju Istana Mini. Disana saya membayangkan akan mendapatkan benda-benda peninggalan sejarah, namun ternyata saya salah. Istana Mini benar-benar kosong. Tidak ada benda apapun disana. Warna catnya mulai mengelupas disana-sini. Ada dua hal yang menarik keingintahuan saya ketika datang ke Istana Mini. Pertama adalah cekungan besar di ruang tengah dan sebuah tulisan tangan di jendela kamar depan. Cekungan besar itu adalah bekas meriam Dan tidak bisa ditambal hingga saat ini, sedangkan tuli
san tangan di jendela adalah milik seorang tawanan berkebangsaan Perancis sebelum ia memutuskan untuk bunuh diri. 
tulisan tangan seorang tawanan berkebangsaan Perancis sebelum gantung diri, isi pesannya “Ia mencintai keluarganya dan memintaa maaf atas kesalahannya”.
En français : 
Quand viendra-t-il le temps qui formera mon bonheur.
Quand frappera la cloche qui va sonner l’heure.

Le moment que je reverrai les « adieux » de ma patrie
Le cœur plein de ma famille que j’aime et que je bénie
Septembre 1831

In english 
When will coming time that will form my happiness
When will strike the bell will ring time

The moment that I will see the farewell of my country
Heart full of my family that I love and that I blessed
September 1831

 

Setelah itu, saya mengunjungi Rumah Pengasingan Bung Hatta, Bung Syahrir, dan Rumah Budaya Des Alwi. Di Rumah Budaya saya melihat lukisan yang menggambarkan kekejaman colonial ketika membunuh para orang kaya Banda. Selain itu banyak benda-benda peninggalan Belanda seperti uang koin, keramik-keramin, furniture, dan alat-alat perang. Segera setelah saya melihat lukisan itu, saya memutuskan untuk pergi ke Perigi Rante. Saya melihat nama 44 orang kaya yang dibantai oleh J.P Coen, tertulis disana. Membaca doa dan tertunduk dalam. #alfatihah
Pulau Neira juga dikenal dengan dua benteng yang pernah menjadi symbol pertahanan Portugis yang kemudian dipugar oleh Belanda. Benteng Nassau  yang dibangun pada tahun 1607, saat ini hanya terlihat puing-puingnya. Hanya seperti lapangan sepak bola yang ditumbuhi rerumputan hijau. Seekor sapi milik warga terlihat memakan rumput disitu. Sedangkan Benteng Belgica dibangun tiga tahun kemudian untuk mendukung Benteng Nassau. Pemandangan dari Benteng Belgica sangat indah, apalagi ketika melihat sunset dari atas sini.
Benteng Belgica yang sangat indah namun ada retak disana-sini.
Melakukan perjalanan ke Banda tidak akan lengkap jika tidak melakukan eksplorasi kedalaman lautnya. Saya berkesempatan untuk snorkeling di Lava Flow, sebuah spot snorkeling yang terletak di sisi Pulau Gunung Api. Lokasi tersebut memiliki tingkat kerapatan terumbu karang jenis Acropora sekitar 90%. Selain Acropora kita bisa melihat beberapa jenis brain coral dan stony coral, namun tetap saja, Acropora mendominasi di wilayah ini. Sayangnya cuaca tidak mendukung bagi saya untuk menjelajah Pulau Ay dan Pulau Rhun. Katanya disana lebih keren lagi. 😀
Setelah menikmati keindahan bawah lautnya, jangan lupa untuk menikmati ketinggian Gunung Api. Berdiri kokoh dengan ketinggian 665 mdpl, gunung ini pernah meletus pada tahun 1988. Saya sempat menikmati pemandangan Neira dari ketinggian di malam hari. Sebuah perjalanan yang tidak akan saya lupakan. Turun gunung ketika jam tangan sudah menunjukkan pukul 21.00 WITA. Bintang-bintang bertaburan di langit dan musik dangdut menggema di angkasa (yeahhh! Music dangdut!) hahah. 
Snorkeling di Lava Flow
Untuk melengkapi perjalanan tentang Banda, ada baiknya kita melihat tempat peristirahatan terakhir para prajurit dan perkenier Belanda. Mungkin terdengar menyeramkan, namun mengunjungi makam-makam tua, kita bisa mengingat kematian. Tak lupa kita belajar sejarah yang tak lazim bagi sebagian orang. Saya mengenal “travel mengunjungi makam tua” dari seorang Travel Blogger, kak Olive. Saya melihat bahwa sejarah tak hanya tertulis di kertas, namun ia juga tertulis di sebuah batu nisan. 
Mengunjungi nisan orang Belanda, orang muslim dan orang keturunan Cina di Kampung Merdeka menjadi sebuah kesempatan yang sangat menyenangkan. Saya melihat bagaimana bentuk nisan yang sangat berbeda dari ketiga budaya yang berbeda. Ada beberapa nisan perkenier yang membuat saya terkagum-kagum. Tapi sayangnya, sejarah berharga ini sudah tidak terawat lagi. L Di Pulau Neira, banyak tersebar nisan-nisan perkenier di kebun-kebun rumah mereka. Namun sama seperti nisan di Kampung Merdeka, banyak nisan yang sudah hancur dan rusak disana-sini. 
Salah satu nisan orang Belanda yang masih ada di Kampung Merdeka, tidak terawat.
Dari mempelajari nisan tersebut saya mendapatkan hal baru. Menurut Pim, teman saya yang berkebangsaan Belanda, nisan-nisan tersebut masih menggunakan bahasa Belanda ejaan lama. Ternyata, sama seperti bahasa Indonesia, bahasa Belanda juga mengalami banyak perubahan dalam kosa kata dan arti kata. Saat ini, orang Belanda tidak menggunakan kata “Hier Rust” untuk menuliskan awalan informasi di batu nisan. Terlalu kuno menurutnya. 
Dari penjelajahan di Pulau Banda, saya mendapatkan banyak hal. Mungkin terdengar klise, tapi saya semakin mencintai Indonesia. Saya mencintai bagaimana perjuangan yang telah dilakukan oleh para pejuang Banda. Saya jatuh cinta terhadap kekayaan alam di Banda. Saya benar-benar jatuh, bahkan terjun bebas.. Sejarah kehidupan mereka dapat menjadi pelajaran bagi kita semua, khususnya untuk para pemuda generasi penerus bangsa, termasuk saya. 
Dan saya berharap, bisa kembali kesini dengan seseorang yang saya anggap spesial.. #amin ya rabbal alamin
Tulisan ini diikutsertakan dalam lomba blog #LombaWisataLokal #WisataLokal
Warung Kopi, 21 Februari basah, 10:50 PM
Malam minggu basah, hanya berteman laptop dan segelas kopi panas. Mengingat keping-keping kenangan tentang Banda yang tidak akan pernah saya lupakan. 
Saya di rumah pengasingan Bung Hatta, semoga saya bisa mewarisi sifat-sifatnya. 😀

Banda Neira Dalam Catatan Sejarah Rempah-rempah

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua. Quis ipsum suspendisse vel facilisis.

One Response

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *


Categories

    Trending posts

    No posts found

    Subscribe

    Lorem ipsum dolor amet, consecte- tur adipiscing elit, sed tempor.