Ketika saya berumur 5 tahun, Ayah memutuskan membeli rumah di pinggiran kota Bogor. Keputusan kepindahan kami terkesan sangat mendadak. Ayah menjual rumah di bilangan Jatinegara untuk menutupi hutang. Pilihan Ayah jatuh di Tajurhalang, sebuah tempat yang tidak pernah dipikirkan sebelumnya. Ayah mendapatkan informasi dari seorang temannya, kebetulan saat itu rumah tersebut memang dijual lumayan murah. Alasannya sederhana, karena memang lokasinya sangat jauh dari mana-mana. Jalanan masih berkalung tanah berlumpur. Jika hujan menderas, bisa dipastikan lumpur akan masuk ke halaman rumah. Saya harus menggunakan plastik untuk menutupi sepatu saya agar tidak terkena lumpur. Untuk mendapatkan moda transportasi terdekat, saya harus jalan kaki sekitar 1 kilometer dari rumah.

Pertama kali pindah di rumah tersebut, saya bingung. Karena biasanya saya hidup dikelilingi beton namun kali ini terhampar pepohonan hijau di depan rumah. Tak sulit untuk mendapatkan rambutan, dukuh, pisang, belimbing, bahkan jeruk bali. Semua tersedia di halaman rumah. Di belakang rumah pun ada sawah dan empang.

Saat itu orang-orang di kampung tersebut masih sangat sedikit. Rumah kami hanya memiliki tetangga depan dan tetangga sebelah kanan. Karena sebelah kiri adalah sebuah villa yang jarang ditempati dan belakang rumah kami terhampar empang yang jadi tumpuan hidup beberapa penduduk. Hal ini membuat lingkaran pertemanan saya sangat sedikit di sekitar rumah.

Ada beberapa anak kecil di sekitar rumah, tapi banyak yang memusuhi saya dan adik-adik. Entahlah. Masih lekat dalam ingatan, hanya ada beberapa anak yang mau bermain bersama kami. Tapi dari semua anak-anak sebaya, hanya ada dua tetangga yang menjadi teman bermain setiap hari. Namanya Epan dan Furqon. Mereka adalah kakak beradik yang tinggal tak jauh dari rumah. Sepulang sekolah, saya, Milzam, Hany, pasti akan menuju rumah Epan dan Furqon untuk mencari tahu petualangan apa yang akan kami temui hari ini. Ya, kami menganggap setiap hari adalah petualangan. Sehingga kami penasaran dengan apa yang akan kami lakukan di hari itu. “Apa petualangan hari ini?” ujar kami kepada Epan antusias.

Biasanya Epan memiliki informasi yang jarang dimiliki oleh kami. Misalnya saja soal buaya yang hidup di sungai kecil. Epan berseru “Awas, disitu ada buaya, jangan dekat-dekat, biasanya buaya keluar kalau ada yang lewat,” ujarnya meyakinkan. Atau informasi tentang belalang berwarna-warni yang katanya jelmaan pocong yang berubah wujud di siang hari. atau tentang penunggu pohon besar di sudut empang belakang. Ia merupakan pencerita yang baik. Dan dungunya, saya adalah pendengar yang baik. Sehingga ingatan-ingatan tentang cerita tersebut sampai sekarang masing terngiang dengan jelas. Hingga saat ini, saya masih tersenyum jika mengingat cerita tentang buaya itu.

Seringkali kami mendapuk Epan sebagai ketua rombongan. Perjalanan yang masih saya ingat adalah ketika kami menyebrangi desa lain. Bukannya melewati jalan biasa, kami memilih untuk mengarungi empang-empang untuk tiba di desa tersebut. Tak ayal kulit kami dihinggapi oleh lintah bahkan kami harus melewati kerbau-kerbau yang sedang mandi. Entah apa yang dipikirkan oleh Bunda dan Ayah kalau kami bercerita tentang petualangan kami.

Kami mencari ikan-ikan di dalam sawah. Menangkap udang. Memanjat pohon. Bahkan mencari ikan sapu-sapu. Saat itu sungai-sungai di sekitar rumah masih tergolong bersih. Kami bisa bebas bermain tanpa harus takut terkena penyakit. Palingan penyakit yang singgah adalah scabies, semacam bentol-bentol di kulit yang berisi air dan menimbulkan rasa gatal. Itupun sembuh dalam seminggu.

Saya sempat membayangkan bagaimana jika tidak bertemu dengan tetangga yang menyenangkan. Atau saya tetap tinggal di hutan beton Jakarta. Mungkin pikiran saya tidak akan semenyenangkan ini. Thanks to Epan dan Furqon yang sudah ikut mewarnai kehidupan saya selama kecil. Heheh.

 

Ditulis di kamar kost Wisma Roberta

11:42 WIB Sabtu, 10 Juni 2017

Sambil dengar instrumen milik Kenny G

 

tulisan ini adalah salah satu komitmen #15harimenulis yang dilaksanakan oleh teman-teman blogger. Tulisannya merupakan tema sehari-hari yang bisa kita temui di hidup yang fana ini.  sila cek tulisan teman-teman yang lain dalam program #15harimenulis ini :

#15harimenulis hari pertama tema : Tetangga
1. Mimi (helmiyaningsi.wordpress.com)
2. Hasymi ( matamatamakna.blogspot.com)
3. Ma’ruf (sajakantigalau.wordpress.com )
4. Adlien (adlienerz.com)
5. Sute
6. Fadli (mujahidzulfadli.wordpress.com)
7. Tismi (tismi-dipalaya.blogspot.com)
8. Irma (cecein.wordpress.com)
9. Opu (whyopu.blogspot.com)

Bersama Tetangga, Membangun Mimpi Bertualang Sejak Kecil

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua. Quis ipsum suspendisse vel facilisis.

2 Responses

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Categories

    Trending posts

    No posts found

    Subscribe

    Lorem ipsum dolor amet, consecte- tur adipiscing elit, sed tempor.