Membaca buku Khaled Hosseini yang berjudul “and the Mountains Echoed” (dan gunung-gunung pun bergema – terj.) membuat saya senang. Akhirnya ada juga buku yang tak melulu berakhir dengan bahagia. Karena memang seharusnya di dunia asli, tak ada cerita yang selalu happy ending
Cerita ini bergerak maju mundur. Tak ada alur yang pasti di setiap bab buku ini. Khaled membawa kita ke dalam ingatan Abdulllah, Pari, Paman Nabi, Pahwana, Nila Wahdati, Markos Varsavis, Idris Bashiri dan Pari Abdullah sebagai penutupnya. Kita akan menemukan bahasa yang sangat indah. Ada beberapa puisi Rumi… 
Khaled membawa kita di Musim Gugur tahun 1952. Ketika seorang ayah menceritakan sebuah cerita kepada kedua anaknya. Abdullah dan Pari. Ayahnya menceritakan dongeng tentang seorang bapak yang memberikan anaknya untuk div(sejenis mahluk jahat yang dianggap memakan manusia – terj). Tapi ia tersiksa tak bisa mendekap dan menyentuh anak bungsunya yang paling ia sayangi. Ia pun mengejar div, tak sadar ia sudah melewati apapun untuk mendapatkan anaknya kembali. Ternyata sang div mempunyai kejutan. Bapak tersebut ditunjukkan tempat anaknya saat ini. Ia bergembira dengan segala hidupnya saat ini. Sang div memberikannya pilihan. Apakah bapaknya mengambil kebahagiaan anaknya atau membawanya kembali ke dalam lubang kemiskinan. Bapaknya berpikir ulang, ia tak ingin anaknya kembali jatuh dalam kemiskinan. Ia pun pulang ke desanya. Ia tak mengingat apapun tentang anaknya. 
“jika kau sudah hidup selama aku,” jawab sang div, “kau akan mengerti bahwa kekejaman dan kemuliaan hanyalah nuansa berbeda dari warna yang sama. Sudahkah kau menetapkan pilihan?”
Musim gugur 1952 – Ingatan Abdulllah
Ternyata cerita tersebut terjadi dalam hidup Abdullah. Abdullah sekitar 10 tahun saat itu, sedangkan Pari masih berumur 4 tahun. Ayahnya memberikan Pari pada keluarga kaya di musim dingin, Sulaeman Wahdati dan Nila Wahdati. Mereka meronta. Abdullah limbung. Tak ada lagi Pari, tak ada lagi kehidupan. 
Pari membayangi, tanpa bisa ditahan, sudut mata Abdullah ke mana pun dia melangkah. Dia bagaikan debu yang menempel di baju Abdullah. Dia adalah keheningan yang kian sering mencekam rumah, keheningan yang menjadi jeda setiap katam terkadang dingin dan hampa, terkadang berisi hal-hal yang sulit terucap, bagaikan awan sarat hujan yang tidak tercurahkan.
Musim semi 1949 – ingatan Parwana
Ia memiliki saudara kembar yang selalu ia urus. Masooma, yang kakinya patah akibat terjatuh dari pohon ek. Padahal Masooma adalah gadis tercantik di desa. Sebuah puisi Rumi tertulis pada bagian ini
Aku bersumpah, sejak kulihat wajah-Mu,
seluruh dunia menjadi palsu dan khayalan.
Taman tak mampu memisahkan daun dari kuncup.
Burung bingung tak sanggup membedakan makanan dari jerat.
Masooma akan dilamar oleh ayahnya Saboor, padahal Parwana memiliki rasa yang dalam pada Saboor. Ia mempunyai cinta yang akan ia berikan pada Saboor, anak-anaknya yang telah ditinggalkan ibunya di musim dingin. Namun takdir berkata lain, Masooma cacat. Ia pergi entah kemana. Di suatu malam, mereka berdua berpisah di gurun pasir. Parwana terus berjalan menyongsong hidup barunya. Dia merasa terlahir kembali. 
“Bukan kamu.” Masooma kini menangis. “Akulah yang membiarkanmu pergi. Aku melepaskanmu.”
Surat Paman Nabi
Kita dibawa dalam ingatan Paman Nabi, saat ini dalam bentuk sebuah surat. Surat yang ia berikan pada Markos Varsavis. Paman Nabi menjelaskan apa yang sudah terjadi di dalam rumah besar tersebut. Rumah yang didiami oleh pasangan Wahdati. Ia yang menawarkan memberikan Pari, keponakan tirinya kepada kedua orang tersebut. Karena Nila Wahdati tidak bisa mengandung. Namun ternyata keputusannya untuk mengambil Pari akan bersangkut paut hingga generasi-generasi setelahnya. Ia menyesal karena Pari melupakan siapa dirinya. 
Disini Paman Nabi menjelaskan kisah yang terjadi di dalam rumah pasangan Wahdati. Kenapa Nila Wahdati pergi. Ia menemukan sketsa dirinya terletak di dalam sebuah kotak hitam. Ia dilukis oleh Sulaeman Wahdati. Ia yang sedang menyiram bunga, ia yang sedang duduk di pinggir kursi taman, ia yang sedang memasak. Semua gambar dirinya. 
Pada saat itu Sulaeman sedang terkena stroke. Ia tak mungkin meninggalkannya. Hingg
a Paman Nabi terus menerus berada disisi Sulaeman, ia mengabdi. Ketika Sulaeman wafat, ia limbung.
“Keberadaan harian saya terbentuk oleh kebutuhannya, pertemanannya. Kini saya bebas melakukan apa pun yang saya mau, tetapi kebebasan itu justru mirip ilusi, karena yang paling saya harapkan sudah direnggut dari saya. Pepatah mengatkan, “Cari tujuan hidupmu dan jalanilah.” Tetapu, kadang-kadang, setelah hidup lama, Anda baru menyadari bahwa Anda memiliki tujuan, dan bisa jadi itu justru tidak pernah terpikir oleh Anda. Dan kini, setelah tujuan saya tercapai, saya seolah-olah melayang tanpa arah.”

Musim semi 2003 – ingatan Idris Bashiri
Ayah Timur, paman Idris meminta Timur dan Idris kembali ke Kabul. Mereka berdua tinggal sejarak tiga rumah dari rumah Wahdati. Paman Nabi mengenali mereka sebagai anak-anak yang selalu bermain sepak bola di lapangan kompleks Kabul. 
Mereka berdua datang ke Kabul, karena rumah mereka yang ada di Kabul bisa menjadi uang yang melimpah. Banyak relawan asing datang dan menyewa rumah-rumah di Kabul. Dari perkenalan dengan Markos yang tinggal di rumah Wahdati. Ia mendapatkan teman bernama Amra. Seseorang dokter yang mengadopsi seorang anak Afgan. Roshana. Ternyata Idris jatuh cinta pada seorang anak kecil tersebut. Ia menyebut dirinya Roshi. Idris memiliki janji untuk membawa Roshi ke California. Mendapatkan perawatan yang lebih memadai dibandingkan perawatan seadanya di Kabul. Namun ternyata ia tak mampu menepati janjinya. Janji kepada seorang anak kecil. Dan anak kecil tersebut memaafkannya.
Februari 1975 – hasil wawancara Nila Wahdati dan ingatan Pari Wahdati
Nila mengalami kecelakaan, Pari datang. Dan kenangan mulai terbuka. Nila jatuh cinta pada Julien, seseorang yang membantu Pari. Dari sini kita tahu bahwa Nila menganggap Pari sebagai sebuah kesialan. Hubungan mereka tak baik, semakin memburuk. Hingga akhirnya Nila bunuh diri. 

Pari menikah dengan Eric, memiliki tiga anak. Dan pada akhirnya Markos menghubunginya untuk memberitahunya mengenai Paman Nabi. Surat Paman Nabi, rumah di Kabul, ingatan di Desa Shadbagh. Dari Markos, ia mendapat jawaban tentang siapa dia sebenarnya. Kenapa selalu ada kekosongan ketika ia berusaha mengingat masa kecilnya. 

“Aku tidak melihat diriku di dalam dirimu. Aku tidak mengenalimu.”
Musim Panas 2009 – Pertemanan Adel dan Gholam
Pertemanan mereka aneh. Karena sepak bola. Adel tidak memiliki teman di Desa Shadbagh-e-Nau. Sebuah desa pernah berdiri disini, namun berganti menjadi rumah Adel. Gholam, anak dari Iqbal (adik tiri Abdullah), membukakan mata Adel bahwa ia tidak baik-baik saja. Kita dibawa mengetahui apa yang sedang terjadi di Kabul pada masa kini. 
Musim Gugur 2010 – kehidupan Markos Varvaris
Cerita Markos menjadi salah satu elemen penting dalam cerita ini. Markos menjadi anak semang Paman Nabi. Kehidupan Markos di masa lalu diceritakan dengan baik oleh Khaled, kenapa ia memilih menjadi dokter bedah. Ternyata ada seorang Thalia yang membuatnya akan menjadi dokter bedah. 
Bagaimana ibunya yang mendorongnya untuk mengikuti lebih lanjut saran Paman Nabi. Ia pun menjadi sebuah tali yang tak terlihat untuk Pari dan Abdullah. Suatu saat. 
Kilasan samar-samar tentang apa yang mungkin terjadi di antara kami. Semuanya itu akan berujung pada penyesalan, aku mengingatkan diriku, dan apa bagusnya penyesalan? Itu tidak akan mengembalikan apa pun. Waktu kami yang sudah terbuang tidak mungkin diperoleh lagi.

Musim Dingin 2010 – kehidupan Pari
Baba Abdullah menjadi sangat tua. Ia tak lagi mengambil mimpi buruk dari kepala dan menggantinya dengan mimpi indah. Pari melihat Baba-nya semakin menua. Ingatannya semakin hilang. Ketika ia mendapatkan sebuah telepon dari seseorang bernama Pari, ia senang. Ia akan bertemu dengan saudara kembarnya. Angan-angan dirinya ketika masa kecil. 
Pari tinggal bersama mereka. Namun Abdullah tak mengingatnya. Hingga akhirnya Pari memberikan sebuah kotak kecil berwarna cokelat. Tulisan Abdullah, tertanggal Agustus 2007. Tepat disaat Abdullah divonis mengalami hilangnya ingatan. 
They tell me I must wade into waters, where I will soon drown. Before I march in, I leave this on the shore for you. I pray you find it, sister, so you will know what was in my heart as I went under.
Ia juga menemukan sekotak kaleng teh yang berisi bulu-bulu. Pari tak mengingat untuk apa bulu-bulu yang ada di kotak kaleng. Ia menangis. Karena kemudaannya ketika mereka dipisahkan, ia tak mengingatnya. Ia yakin pada saat itu Abdullah terluka. 
Pembaca akan dibuat menerawang. Yang pasti hidup ini tak selalu indah dan sesuai dengan impian kita. Saya menyukai buku ini, tapi entah kenapa air mata tak mengalir. Sama seperti saya membaca buku The Kite Runner. 😀
Quotes :
“The finger cut, to save the hand.”
“It was the kind of love that, sooner or later, cornered you into a choice: either you tore free or you stayed and withstood its rigor even as it squeezed you into something smaller than yourself.”
“A story is like a moving train: no matter where you hop onboard, you are bound to reach your destination sooner or later.”
Ditulis di Laboratorium Toksikologi Laut, 8 Januari 2014
Setelah membaca buku tersebut..

dan Gunung-gunung Pun Bergema

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua. Quis ipsum suspendisse vel facilisis.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Categories

    Trending posts

    No posts found

    Subscribe

    Lorem ipsum dolor amet, consecte- tur adipiscing elit, sed tempor.