Sebut saja ia Pak Nyong, seorang mantan pegawai di sebuah perusahaan sirip ikan hiu di bilangan Kota Pahlawan, Surabaya. Tiba-tiba ia bercerita mengenai harga jual dan beli sirip ikan hiu di Indonesia. Karena ia mengetahui background saya sebagai mahasiswa Ilmu Kelautan yang mempelajari mengenai ikan hiu.
Ia pun bercerita kepada saya bahwa di perusahaan di Surabaya ia mampu mengolah 200 ton sirip ikan hiu dalam sebulan! Sirip ikan hiu ini didatangkan dari seluruh dunia. Ada yang dari Spanyol, Argentina, dan Nigeria. Sirip hiu sudah dalam bentuk packing rapih di dalam kardus. Selain itu, ada juga sirip hiu dari pasar lokal. Bali diklaim sebagai salah satu pemasok utama dari Indonesia. Suplai yang diberikan pemain dari Bali bisa mencapai 1 – 2 ton per bulan. Sisanya dari pemain luar negeri yang sudah merasa cocok dengan harga yang diberikan pabrik di Surabaya.
Produk sirip hiu yang dikirim ke Indonesia sudah dipacking sesuai dengan jenisnya. Misalnya sirip punggung Hiu jenis Whitetip, sirip ekor Hiu jenis Blacktip, sirip dada dari Hiu Martil. Produk datang dalam bentuk beku. Sedangkan dari lokal dalam bentuk kering. Untuk membantu produksi sirip hiu dari berbagai negara ini, memekerjakan sekitar 1500 pegawai.
Setelah diolah menjadi produk, sirip ikan hiu dikirim ke Jepang. Ada dua jenis produk siap makan yang siap diekspor, yaitu Paitsu dan Sakika. Alur proses sirip hiu dimulai dari memasak sirip hiu yang kemudian membuang kulit arinya. Selain itu sirip hiu direndam dengan obat-obatan dan juga enzim menetralisir bakteri dan amoniak. Untuk produk Paitsu, sirip hiu dikukus kemudian dijemur. Sedangkan produk Sakika dimasak lagi hingga hancur dan kemudian diblender hingga menjadi bubur.
Menurut Pak Nyong, ada beberapa jenis hiu yang tidak bisa diolah. Seperti hiu tutul (Whaleshark) karena dagingnya yang hancur. Sedangkan sisanya mereka masih menggunakannya sebagai produk ekspor ke Jepang. Beliau juga mengatakan bahwa kulit ikan Pari Manta juga digunakan.
Perusahaan yang berdiri sejak tahun 1999 ini akhirnya tutup pada tahun 2013 lalu. Hal ini dikarenakan ketika tsunami menerjang Jepang, banyak pembelinya yang wafat terkena tsunami. Saat ini perusahaan sudah berganti nama di daerah Jawa Tengah. Pak Nyong ditawari kembali untuk bekerja, namun ia memilih untuk pindah ke Ambon.
Itulah sekelumit cerita mengenai produksi hiu di Indonesia. Bisa dikatakan usaha perikanan hiu masih menjadi andalan yang baik bagi nelayan maupun sebagai ekonomi nasional sebagai salah satu komoditas ekspor. Sekedar informasi, produksi ikan hiu nasional adalah sekitar 60.000 ton (data 2011), jumlah ekspornya mencapai 2500 ton (data 2006), dan ekspor sirip hiu mencapai 486 ton (data 2006).
hiu yang disita dari kapal Thailand |
Jika dikalkulasikan, Indonesia adalah negara produksi dan pengekspor terbesar di dunia, baru kemudian disusul oleh negara India. Hal ini berdasarkan luas perairan kita yang mencapai 5,5 juta km2 dengan memiliki 118 jenis hiu tentunya suatu potensi yang sangat besar dibandingkan dengan potensi perikanan hiu negara manapun.
Namun melihat kembali cerita Pak Nyong, hiu-hiu ini didatangkan dari Negara-negara asing, bukan dari Indonesia. Jadi Indonesia membutuhkan dan menyiapkan regulasi nasional yang ketat tentang ikan hiu. Secara normatif atas belum adanya regulasi nasional untuk beberapa jenis hiu dan secara internasional. Namun sejak tanggal 14 September 2014, untuk aturan CITES untuk 3 jenis hiu martil dan 1 jenis hiu koboi berlaku efektif. Yes!
Tapi, lucunya, dalam Peraturan Menteri Perdagangan No. 50/M-DAG/PER/9/2013 tentang Ketentuan Ekspor Tumbuhan Alam dan Satwa Liar Yang Tidak Dilindungi Undang-Undang dan Termasuk Dalam Daftar CITES, tiga jenis hiu martil dan satu jenis hiu koboy tersebut ( empat jenis hiu tersebut belum ada status perlindungannya secara peraturan perundang-undangan nasional tetapi sudah masuk dalam daftar appendix CITES) tidak termasuk dalam aturan ketentuan ekspor tumbuhan dan satwa liar sebagaimana Peraturan Menteri Perdagangan tersebut. Peraturan Menteri Perdagangan tersebut tidak mencantumkan ke empat jenis hiu tersebut dalam lampirannya. (Didi Sadili, 2014). Hahaha. Lucu kan?
salah satu restoran di Kota Hujan yang menyediakan ikan hiu sebagai menunya |
Karena itu, dibutuhkan sinergitas dari berbagai belah pihak untuk ikut berpartisipasi dalam melarang perburuan ikan hiu. Hal itu harus dilakukan secara hati-hati dengan mempertimbangkan tidak saja hal teknis biologi yang berbicara mengenai konservasinya, namun juga harus mempertimbangkan aspek sosial ekonomi nelayan.
#saveshark karena hiu adalah bagian dari masa depan, bukan masa lalu!
Ditulis di Kantor Harta Samudera
2 September 2014 11:23 AM
Sambil denger lagu Paradise dari Coldplay