“Dlien, kalau ke Pulau Buru, tolong belikan minyak kayu putih sebotol kecil ya?,” pesan seorang teman di Pelabuhan Perikanan sebelum saya berangkat menuju Pulau Buru. Sebuah pulau yang terkenal karena pernah dijadikan lokasi pengasingan para tahanan politik di era Soeharto. Namun selain karena bekas lokasi pengasingan, pulau yang terletak di bagian barat Maluku ini juga terkenal karena minyak kayu putihnya.
Perjalanan saya mulai dengan kapal Ferry dari Pelabuhan Galala, tiket seharga 140 ribu sudah di tangan. Kali ini saya sendirian berangkat, tak seperti dua bulan lalu bersama Bang Wildan dan Paul Hilton. Namun, ketika kapal berangkat saya sudah mendapatkan teman baru. Mbak Irene namanya, anak pecinta alam di Pulau Buru. Ia menyebutkan lokasi yang bagus untuk menikmati waktu santai sambil snorkeling. Waelihang dan Waplau masuk dalam lokasi bagus untuk snorkeling. 😀
Setelah menikmati tidur dan perjalanan selama 8 jam, saya pun tiba di Pelabuhan Namlea. Karena terlihat masih awam, banyak tukang ojek yang menawarkan jasa. Tapi saya memilih untuk tidur sebentar lagi hingga fajar tiba. Karena mobil angkutan baru ada ketika fajar sudah menyingsing. Saya pun mulai menuruni anak tangga dan segera mencari angkutan yang menuju Waplau. Tempat saya akan menginap selama seminggu.
Hari minggu pagi saya berkesempatan untuk mengunjungi ketel atau tempat penyulingan daun kayu putih. Ketika saya menuju Desa Waepure untuk bertemu salah satu sahabat disana, Bang Firman. Menumpang mobil pengangkut ikan tuna, saya menuju desa yang terkenal sebagai produsen ikan tuna.
|
ketel pembuatan minyak kayu putih |
Selama perjalanan saya melihat banyak tanaman kayu putih di sisi kanan dan kiri jalan. Menurut Pak Irfan, penduduk memang menanam kayu putih. Dan entah kenapa, tumbuhan ini hanya bisa subur di Pulau Buru. Jika ditanam di daerah lain, sangat sulit untuk tumbuh. “Mungkin tanahnya berbeda dengan daerah lain, selain itu cuaca bisa mempengaruhi,” jelasnya.
Di Desa Waspait, kami singgah untuk melihat proses pembuatan minyak kayu putih di sebuah ketel kecil. Pak Damra adalah kepala ketel disana. Ia menyambut kami dengan riang, padahal jelas tergambar bulir-bulir keringat di wajahnya. Saya pun langsung mencium aroma kayu putih yang kuat dari dalam ketel.
|
tungku kayu untuk pembakaran |
Oia, ketel adalah sebuah rumah yang terbuat dari bambo tanpa dinding. Hanya beratapkan daun kelapa kering. Tempat inilah yang menjadi ‘kantor’ bagi empat orang disini. Pak Damra selaku kepala ketel bertugas untuk menjaga ketel dan menunggu penguapan hingga menjadi minyak. Tiga orang lainnya memiliki fungsi untuk memetik daun kayu putih serta memisahkan dari batangnya. Setelah itu mereka mengumpulkan daun-daun kayu putih di sebuah wadah.
Daun-daun kayu putih yang sudah terkumpul kemudian dimasukkan kedalam tempat penguapan. Semacam wadah yang terbuat dari kayu berbentuk bundar. Setelah penuh dengan daun kayu putih, wadah tersebut ditutup dengan penutup yang memiliki selang menuju baskom penampung. Namun sebelumnya selang yang berisi minyak kayu putih melewati kolam kayu untuk mendinginkan minyak. Seluruh proses ini membutuhkan waktu hingga 6 jam. Jadi dalam satu hari mungkin bisa terkumpul sekitar 5 liter.
|
daun kayu putih |
|
aliran minyak kayu putih yang ditampung di dalam jerigen |
Ketika saya sudah mengetahui proses pembuatan minya kayu putih secara asli, saya pun bisa maklum ketika satu botol Aq*a sedang dihargai 150ribu. Setiap kerja keras yang mereka lakukan untuk mendapatkan satu jerigen kecil serasa impas dengan harga yang mereka berikan. Saya pun pulang dengan minyak kayu putih di tangan sebagai buah tangan.
Ditulis di Kantor Masyarakat dan Perikanan Indonesia (MDPI) site Desa Waepure
9:13 PM, 21 September 2014
Sambil nahan laper yang sangat melanda hari ini. 😀