Pemandangan dari Desa Dobo
Perjalanan ke daerah Dobo di Waipare hari minggu kemarin masih menyisakan beragam tanya. Seperti ada yang resah dan ingin saya luapkan. 
Ketika mencapai desa tua di daerah Dobo membuat saya terpekur. Ketika kami datang ,mereka menyambut kami dengan ramah. Semua orang tersenyum. Saya pun bermain bulu tangkis untuk menunjukkan keterbukaan saya dengan orang-orang disana. 
Menhir
Menurut saya, senyum adalah hal yang paling mudah dilakukan untuk berinteraksi dengan orang-orang baru. Entah kenapa, senyuman tulus bisa membuat orang menjadi nyaman. Saya percaya itu. Karena itulah, dimulai dengan senyum, saya pun langsung meminjam raket anak kecil untuk mengajaknya bertanding. Beberapa ibu-ibu dan bapak-bapak menyaksikan pertandingan kecil kami. 
Setelah saya rasa sudah cukup mendapatkan perhatian. Saya pun mulai mencari-cari keunikan di desa ini. Desa ini sudah ada sejak zaman dahulu kala. Dibuktikan dengan adanya menhir (batu-batu) untuk melakukan pemujaan. Menurut Bapak Arsinus, biasanya pemujaan dilakukan ketika selesai musim panen. Jadi ketika semua penduduk telah panen, pesta baru diadakan. Biasanya pesta diadakan hingga 3 hari berturut-turut.
Selain cerita yang disuguhkan oleh Bapak Arsinus, saya lebih tertarik dengan apa yang dilakukan oleh ibu-ibu disini. Mereka menenun kain tradisional khas Flores. Kain indah, karena polanya cantik dan terlihat tribal. Keren banget lah. Saya pun menuju satu rumah yang menjemur kain yang telah selesai diwarnai. 
Kain Sembar
Disana saya berkenalan dengan Wancelina Aurelia, anak perempuan yang saat ini berprofesi sebagai penenun kain. Sejak ibu kandungnya wafat dua bulan yang lalu, ia mengambil alih tugas ibunya. Ayahnya berprofesi sebagai peladang dan pekebun. Namun ia sudah renta dan mulai sakit-sakitan. Wance sebagai anak pertama merasa harus menopang kehidupan keluarganya. Ia pun berhenti dari sekolah untuk membuat kain khas tradisional. 
Padahal ketika saya ngobrol dengannya terasa ada pancaran kuat ingin kembali ke sekolah lagi. Ia menceritakan bagaimana caranya ia bisa ke sekolah. Butuh waktu 2 jam untuk tiba di sekolahnya. Mengingat jalanan menuju jalan utama sangat jauh. Belum lagi jalanan menanjak terkadang sangat licin. Wance bercerita sambil mengenang masa-masa itu. Ia terbuka dengan setiap pertanyaan yang saya ajukan. 
Ia sudah tak bersekolah sejak bulan November 2013. Guru-guru di sekolahnya membenarkan tindakan Wance untuk tidak bersekolah. Menurut guru-guru, Wance adalah anak pertama sehingga tugasnya untuk mencari nafkah bagi keluarganya. Karena itulah, Wance pun mengundurkan diri. Melihat semua orang mendukung keputusannya untuk menenun. Padahal ia memiliki keinginan untuk terus bersekolah. Menurutnya, ibunya yang paling mendukung dirinya untuk terus bersekolah. Namun semenjak ibunya tiada, ia pun nyaris kehabisan semangat dan dukungan. 
diantara Utan
Saat ini ia berdamai dengan keadaan. Ia pun bergabung dengan kelompok penenun kain tradisional. Kelompok ini membuat kain tradisional yang sesuai dengan pesanan pasar. Kemudian kain ini akan dijual ke pasar dengan harga seragam. Ada yang bertugas mewarnai kain, ada yang bertugas menenun kain, merapihkan kain, dan lain sebagainya. Saat ini Wance bertugas sebagai pembuat kain yang berukuran 10 – 20 cm atau biasa disebut dengan Sembar. Hal ini dikarenakan Wance masih dalam tahap berproses untuk membuat kain. Jadi ia hanya diberikan pelajaran untuk membuat Sembar terlebih dahulu. Dari hasil penjualan kain yang dibuat oleh Wance inilah, ia bisa menafkahi keluarganya.
Kain-kain berukuran lebih besar disebut dengan Utan, dikerjakan oleh ibu-ibu yang sudah terampil. Untuk selembar kain sembar dibanderol harga 100 ribu, dengan waktu pengerjaan sekitar 10 -15 hari. Kalau kain Utan dibanderol dengan harga 400 – 500 ribu rupiah, dengan waktu pengerjaan sekitar 10 – 15 hari. Terg
antung dari tingkat kesulitan pola dan warna. 
Ternyata Wance tak sendiri. Masih ada beberapa anak yang sudah tak sekolah karena ketiadaan biaya. Menurut Wance uang sekolah (SPP) per bulan bisa mencapai 200 ribu. Hal inilah yang membuat Wance dan anak-anak lain harus berpikir dua kali jika ingin sekolah. Mereka tidak berharap banyak untuk bisa terus sekolah. Keadaan ekonomi di daerah ini hanya bergantung pada hasil kebun dan juga menenun kain tradisional.
Me and Wance
Sama seperti doa-doa anak pinggiran kebanyakan, mereka berharap agar pemerintah mampun membantu mereka agar bisa bersekolah lagi. Namun sepertinya orang-orang di pemerintah sana tak mampu mendengar rintihan-rintihan rindu anak-anak desa Dobo yang ingin kembali bersekolah. 
Ditulis di kamar kost Wuring, sambil dengar lagu When The Children Cry – The White Lion
11:47 Wita 18 Maret 2013

Rintihan Rindu Anak-anak Dobo

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua. Quis ipsum suspendisse vel facilisis.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Categories

    Trending posts

    No posts found

    Subscribe

    Lorem ipsum dolor amet, consecte- tur adipiscing elit, sed tempor.