
Subuh Sendirian di Pantai Pintu Kota Ambon
“Jang ose coba-coba ke Pintu Kota sendiri, bahaya,” ujar Maman di malam hari sebelum saya berangkat ke Pintu Kota.
Memang perjalanan ini tergolong nekat. Karena saya pernah mendengar cerita beberapa orang bahwa sunrise di Pantai Pintu Kota sangat memanjakan mata. Saya pun melontarkan ide tersebut ke Maman, seorang teman yang sudah tinggal lama di Ambon. Tapi bukannya mendapat saran, saya malah dimarahi dan diminta untuk melupakan ide gila itu. Haha.
Bukan Adlien namanya kalau dilarang malah semakin penasaran. Alarm berbunyi tepat pukul 05.15 WIT. Setelah membersihkan diri dan shalat subuh, saya segera mencari ojek di depan Gang Singa. Waktu menunjukkan pukul 05.20 WIT. Langit masih gelap. Bintang bertaburan.
Beruntung sudah ada satu bapak yang agak tua dan bersedia memberikan tumpangan. Bapak tersebut agak bingung ketika saya menyebut tempat tujuan.
“Pak, ke Pintu Kota ya. 50 ribu bagaimana. Bisa ka seng?” tanya saya.
“Pintu Kota yang di Latuhalat?” ia malah kembali bertanya.
Sepertinya bingung dan kemudian mengiyakan permintaan saya. Kami pun berangkat. Saya mengajak bicara beliau tentang Ambon. Tentang masa lalu berdarah yang membuatnya bersedih. Maluku berduka di masa itu. Tak ingin sebenarnya ia bercerita tentang luka, tapi ia bercerita karena saya pendatang. “Beta harap seng ada perang berdarah lai, sakit. Samua-samuahabis. Keluarga dan family habis. Seng ada sisa,” ujarnya. Ada jeda panjang ketika ia bercerita tentang itu. Terselip doa di dalam percakapan kami agar perang saudara tak akan terjadi lagi di tanah Indonesia, dimanapun itu. Di kegelapan subuh kami berdoa dengan cara agama kami masing-masing dan mengaminkan berkali-kali.
Hingga akhirnya kami pun tiba di Pintu Kota. Belum ada orang sama sekali disana. Langit masih berwarna biru gelap dengan semburat jingga sedikit di ufuk timur. Saya masih bisa melihat bintang di atas saya. Benar-benar pemandangan yang membuat saya takjub dan rasanya ingin kembali berkali-kali kesini. Waktu sudah menunjukkan pukul 06.00 WIT. Ternyata perjalanan kami cukup cepat, hanya 30 menit. Biasanya perjalanan ditempuh sekitar 45 menit dari Kota Ambon. Pantai Pintu Kota terletak di Dusun Airlouw, Kecamatan Nusaniwe, Ambon, Provinsi Maluku.
Bapak tukang ojek bertanya apakah saya berani ditinggal sendirian? Mengingat masih gelap saat itu. “Beta tunggu sini sa atau adek sandiri?” tanyanya. Ia terdengar ragu ketika saya memintanya pergi.


Semburat jingga sedikit demi sedikit berubah menjadi lebih terang. Langit berubah menjadi biru terang. Karena waktu sudah menunjukkan pukul 07.00 WIT. Perut saya sudah kelaparan. Saya pun beranjak dari Pintu Kota dan mulai berjalan menuju Pantai Namalatu yang akan saya ceritakan di blogpost lainnya. 🙂
Ternyata ketika saya bertemu dengan teman di Kafe Sibu-sibu pada malam yang sama, ia bercerita tentang kisah mistis disana. Pantai tersebut pernah memakan korbanbeberapa kali. Dan rasanya sangat jarang orang yang ingin menghabiskan sunrise disana mengingat betapa menyeramkannya tempat tersebut. Karena itu Maman maupun teman-teman yang lain sangat tidak menyarankan saya pergi sendirian kesana. Hahah.

Untungnya saya belum tau cerita ini tadi pagi. Hahaha.
Ditulis di ISKINDO
16:29 WIB 19 Februari 2017
Sambil kesakitan karena derita hari pertama haid.
P.S : ini adalah glosarium bahasa Ambon yang saya gunakan di dalam tulisan ini.
ose = kamu (digunakan untuk orang sepantaran)
jang = jangan
beta = saya
seng = tidak
lai = lagi
samua = semua
sa = saja


5 Comments
Nasrul Irianto Z.
Anakku pemberani sesuai namanya yang kuberikan ketika ia lahir.
Pingback:
adlienerz
iya donk yah heheh 🙂 ayah juga pemberani, makanya anak-anaknya pemberani semua 🙂
dandy
boleh sya gunakan picturenya
adlienerz
Silakan digunakan mas Dandy. Tolong diberikan kredit ya. Terima kasih