Setiap kali saya melewati pemakaman yang dihiasi pohon besar, selalu ada keinginan untuk masuk. Menurut orang-orang disekitar pemakaman, ini adalah makam para prajurit asing yang gugur disini selama Perang Dunia ke 2.
Sore itu langit masih cerah, setelah hujan terus mengguyur Kota Ambon dua hari belakangan. Melihat mentari yang menyembul malu-malu diantara awan, saya pun memutuskan untuk bersepeda sore, Sabtu (23/08). Penat seminggu rasanya harus dihapuskan.

 Sepedahan pun dimulai

Berbekal dengan uang 10 ribu, tripod dan kamera kesayangan, saya pun mengayuh sepeda menuju Kapaha. Sebenarnya jarak dekat sekali dari Pelabuhan Tantui, sekitar 1 kilometer. Tak perlu banyak tenaga dan tak perlu ada rasa curiga. #eh

Bersepeda sore memang menyenangkan, apalagi setelah hujan. Jalanan tidak berdebu, tapi memiliki bau khas tanah yang menyegarkan. Saya selalu suka dengan hujan di sore hari. Perjalanan menuju Kapaha tidak membutuhkan waktu lama dan saya pun tiba di pemakaman tua. Berada di pinggir jalan dan berhadapan dengan Masjid Kapaha, tempat ini tidak sulit untuk ditemukan.

Sejarah World War II Cemetery

Pemakaman untuk menghormati para prajurit asing yang gugur disini selama Perang Dunia ke 2. Total 649 tentara yang mati selama bertugas di Ambon dan juga tentara yang menjadi tahanan selama tahun 1941 – 1945. Bentuknya bukan seperi pemakaman, malah terlihat seperti taman indah. Dengan pohon besar yang memiliki rumbai-rumbai dipadupadankan dengan kanopi seperti di luar negeri. Membuat saya jatuh cinta dengan tempat ini. Ketika saya datang kesini, ada dua pasang pengantin yang sedang melakukan pemotretan pra-wedding. Tempatnya yang memang terawat dan tidak kotor. Lucu juga sih melihat orang pra-wedding di kuburan. 😀
sejarahnya bisa dilihat disini 
Setelah puas mengagumi tempat ini, saya pun langsung mengeluarkan tripod dan kamera. Walaupun ada rombongan pra wedding, saya tetap memasang aksi gila untuk foto selfie ini. Saya ga mau setengah-setengah, pokoknya harus total. Sekalian belajar menangkap momen menggunakan kamera Nikon D3100. Saya masih harus banyak belajar. Jadilah sore itu, saya selaku model merangkap sebagai fotografer.
Setelah orang-orang itu pulang, saya semakin menjadi-jadi. Padahal kalau dipikir-pikir, saya seharusnya takut. Karena saya berpose diatas kubur orang-orang mati. Orang-orang yang dianggap pahlawan di negaranya masing-masing. Tapi biarlah, toh saya tidak menginjak-injak. Hanya sekedar berfoto di lapangan yang tidak ada kuburannya. Permisi misters….
Sore semakin gelap, ternyata saya ditinggal sendirian di tempat itu. Karena melihat sudah tidak ada siapa-siapa saya pun memutuskan untuk segera pulang. Tapi saya menyempatkan berbicara dengan Pak  Majid selaku juru rawat kuburan ini, beliau meminta keikhlasan untuk membayar biaya jasa perawatan. Saya memberikan uang 10 ribu yang ada di dalam saku. Setelah itu saya pun bersiul gembira menuju arah pulang diantara sayup-sayup suara adzan maghrib.
Tempat ini cocok untuk membaca buku dan menghayati bahwa kita sangat dekat dengan kematian. 😀
Ditulis di Mess Harta Samudera
20.06 Wit 26 Agustus 2014

Sendirian di Pemakaman Tua

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua. Quis ipsum suspendisse vel facilisis.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Categories

    Trending posts

    No posts found

    Subscribe

    Lorem ipsum dolor amet, consecte- tur adipiscing elit, sed tempor.