Saya bersyukur dapat bertemu dengan Nenek Maryam Salasiwa, saya memanggilnya Nenek saja. Beliau adalah ibu dari seorang Bapak Ide, mantan nelayan yang rumahnya kami tempati menginap selama satu minggu. Di Desa Wamlana, saya belajar banyak dari Nenek Ima yang dipercaya berumur lebih dari 100 tahun, saat Belanda dan Jepang masih berkeliaran di Pulau Buru. Ia pun masih bisa menggunakan bahasa Jepang sedikit-sedikit. Pun bahasa Belanda yang ia pelajari dari orang Belanda yang kerap menyambangi desa-desa di waktu lampau.
Ia lahir di sebuah desa kecil bernama Waipoti sekitar tahun 1900-an awal. Ia tak punya catatan kelahiran, tapi ia mengingat segala hal ketika Belanda masih menginjakkan kakinya di Pulau Buru. Ia tumbuh menjadi seorang gadis dan akhirnya menikah di desa tersebut. Karena suaminya adalah orang Wamlana, ia pun diboyong pindah ke desa Wamlana yang berjarak sekitar 20 kilometer dari Waipotih. 

 
Saat ia menikah, pasukan Belanda dan warga Belanda sudah masuk ke Namlea. Ia mengatakan bahwa saat itu roda ekonomi di Pulau Buru berputar dengan baik. Semua orang masih berjalan kaki ataupun menggunakan sepeda bagi yang memiliki uang. Jalanan setapak yang masih digunakan, naik turun perbukitan. Belum ada jalan raya seperti saat ini yang membuat perjalanan menuju Namlea bisa ditempuh dengan lebih cepat. 
Ia dan suaminya bekerja di ladang. Mereka adalah para petani tembakau pada saat itu. Selain bekerja di ladang tembakau, sang suami pun bekerja sebagai pemetik daun kayu putih. Posisi lain yang ia pegang adalah penjaga ketel. Saya memang mengonfirmasi cerita tentang minyak kayu putih. Menurut cerita dari juragan minyak kayu putih di Wamlana, teknologi ketel pembuatan minyak kayu putih memang didatangkan oleh warga Belanda. Selain itu kadang sang suami pergi mencari ikan dengan kapal kayu untuk sekedar menjadi lauk. Ia hidup bahagia, hingga anak pertamanya lahir. Keluarganya semakin lengkap. Hingga masuklah perang Dunia ke 2, Jepang masuk ke Indonesia. Para pedagang Belanda yang dulunya menyuplai bahan-bahan makanan dan pakaian diblokade oleh pihak Jepang. Hingga akhirnya ia dan keluarga hidup dalam kesulitan. 

 

“Pada saat itu katong pakai baju dari karung yang kena di kulit sakit sekali. Beta menangis, tapi mau biking apa, semua orang susah pada saat itu. Katong hanya makang yang ada di kebun sa,” ujarnya sambil mengingat. Matanya yang sudah hampir tak bisa melihat, menerawang. 
Saat perang terjadi, semua orang memiliki tempat persembunyian untuk menghindari jatuhan bom. Mereka menyebutnya sebagai Boko. Saat itu ia tengah mengandung anak keduanya. Ketika ia akan melahirkan semua orang bersembunyi di dalam Boko, dan lahirlah anak kedua. Tapi karena mungkin satu dan lain hal, anak tersebut meninggal ketika menginjak umur 2.5 tahun. Ia menamakan anak tersebut, Boko. 
Saat itu Pulau Buru masih dipengaruhi oleh paham animisme yang besar. Para warga menyembah batu dan pohon besar. Ada beberapa warga yang hidup di antara pohon sagu dan di pohon kayu. belum banyak orang yang tinggal di rumah seperti yang bisa kita lihat saat ini. 
Saat Indonesia merdeka, ia menjadi salah satu peserta Pemberantasan Buta Huruf (PBH). Hingga ia pun fasih menggunakan bahasa Buru ataupun bahasa Indonesia. Ia sangat fasih menggunakan bahasa Buru, sebuah bahasa yang penggunaannya semakin menipis. Hanya orang-orang tua diatas umur 60 tahun yang menggunakan bahasa tersebut untuk berkomunikasi. Sisanya mereka menggunakan bahasa Indonesia dengan dialek Maluku dan Buru. 
Umur Nenek yang sudah mencapai 100 tahun seringkali mengundang tanda tanya bagiku. Ia pun membagikan resep umur panjangnya. “Katong punya, katong punya. Kamong punya, kamong punya,” ujarnya mantap. Sebuah falsafah hidup yang akan saya simpan hingga saat ini. Jika saya artikan ke bahasa Indonesia seperti ini “Apa yang kita punya adalah milik kita, yang orang lain punya adalah orang lain punya,”. Bapak Ide menjelaskan falsafah ini kepada saya dalam penjelasan yang lebih panjang. “jadi, maksudnya Nenek, jangan pernah mengiri dengan milik orang lain, menginginkan apa yang orang lain punya, jangan pernah makan apa yang bukan milik kita, syukuri apa yang sudah kamu dapatkan, jangan pernah berharap milik orang lain,” jelasnya panjang. Nilai hidup inilah yang nenek pegang hingga di usianya yang mencapai 100 tahun dan terus ia jelaskan kepada anak cucunya. 
Ditulis di Penginapan Delta, Kota Namlea
12:40 WIT 16 Januari 2017
Sambil mendengar lagu Payung Teduh – Rahasia
(Salah satu saudara Kelautan Universitas Hasanuddin 2008 meninggal pagi ini, dan saya sangat bersedih. Semoga almarhumah diberikan tempat yang layak di sisi Allah SWT, dan keluarga yang ditinggalkan diberikan ketabahan. Aamin ya rabbal alamin)…

Resep Umur Panjang dari Nenek Berumur 100 tahun di Wamlana

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua. Quis ipsum suspendisse vel facilisis.

5 Responses

  1. tulisan yang sangat menarik, selaku anak Desa Wamlana saya merasa bangga sekaligus terharu dengan konten tulisan ini. lebih-lebih saya juga bagian dari keluarga nene Yam

  2. dalam rangka apa ke Wamlana? sy ad rencana penelitian ke sana 🙂

  3. saya membantu penelitian di Wamlana disana. 🙂

    kapan rncananya ke Wamlana. daerah yang sangat indah 🙂

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Categories

    Trending posts

    No posts found

    Subscribe

    Lorem ipsum dolor amet, consecte- tur adipiscing elit, sed tempor.