Perjalanan menuju Kamboja untuk mengikuti kegiatan YSEALI penuh dengan drama, mulai dari wawancara LPDP dengan interviewer yang menyeramkan, gak bawa uang riel ketika tiba di Kamboja, terlambat datang ke acara, handphone ketinggalan, dan drama lainnya.
Alert : Perjalanan ini adalah perjalanan penuh drama. Jika tidak mau muntah, tolong segera log out dari laptop Anda dan segera cari makan. Takutnya nanti Anda masuk angin. Parental Guidance! Panjang banget loh..

Ketika wawancara untuk beasiswa LPDP, Jumat (19/02), saya bawa tas backpack dan tas selempang. Sudah dua hari ini saya menginap di rumah seorang teman, ditambah lagi dengan persiapan saya untuk ke Kamboja. Membawa laptop dan kamera serta beberapa potong baju sudah berat. Apalagi ditambah dengan beban hati yang menghimpit. Sesak, bang.. Ketakutan saya adalah ketika masuk wawancara dengan tampilan seperti seorang gembel, para interviewer akan bertanya-tanya. Dan benar saja, kebiasaan saya travelling tak luput dari daftar pertanyaan mereka. Haha. #ampung

Perjalanan Panjang dimulai

Setelah 45 menit berada di arena panas, akhirnya saya segera berangkat ke rumah teman, namanya Agata. Kami berkenalan ketika latihan Leaderless Group Discussion (LGD), sebagai teman sekelompok ia bersedia menampung saya untuk makan siang. Selain itu rumahnya juga sangat dekat dari Bandara Soekarno Hatta, sehingga saya tak perlu keluar biaya mahal untuk tiba di Terminal 3. Tapi dasar bodoh, saya malah memesan gojek. Saya lupa kalau sepeda motor tak bisa masuk hingga pintu kedatangan. Akhirnya saya memilih turun di depan terminal Kalideres dan melanjutkan perjalanan dengan GrabCar. 
Ketika saya mengantri, ada sepasang suami istri yang terlihat penuh dengan barang bawaannya. Perkenalan kami dimulai dengan senyuman. Ia pun menanyakan kemana tujuan saya, ternyata kami sepesawat. Karena melihat saya yang hanya membawa sebuah backpack dan tas kecil, ia pun menumpang bagasi. Setelah itu kami pun bercakap-cakap. Ternyata orangtua bapak tersebut wafat. Mereka sudah memesan tiket jauh-jauh hari agar bisa bertemu orangtua mereka , tapi ternyata kematian datang lebih cepat. Pak Hendri dan Bu Yana sudah tinggal di Malaysia sejak tahun 1990. Mereka bekerja dan menjadi pedagang disana. Keempat anaknya lahir dan besar di Malaysia, passport mereka bukan berwarna hijau. Si Bungsu mereka bawa ke Indonesia, melihat keadaan di Tanah Jawa. Mereka berdua memborong salak hingga lebih dari 10 kilogram. “Oleh-oleh untuk kerabat disana, salak Indonesia lebih manis,” ujarnya bangga. 
salah satu pengunjung di Angkor War
Jam tangan sudah menunjukkan pukul 20.53 WIB, saya pun menanyakan soal money changer di Malaysia. Uang di dompet tinggal empat lembar. Satu berwarna merah, sisanya berwarna ungu dan krem pucat. Rencananya saya akan menukar si Merah di Kualalumpur, sekedar untuk mengisi perut selama di bandara. Ternyata beliau malah memberikan uang 30 RM secara cuma-cuma. Beberapa kali saya menolak, Bapak dan Ibu bersikukuh untuk memberikannya secara gratis. Hiks. Baiknyaaa… 
Kami pun segera menuju gate yang dituju. Tak berapa lama, pesawat pun lepas landas menuju Malaysia. Ini adalah kali kedua saya menginjakkan kaki di Malaysia. Tapi ini adalah pertama kalinya tiba di Kualalumpur. Jam di handphone menunjukkan pukul 00.59 dan jam tangan menunjukkan pukul 23.49. Ternyata beda satu jam antara KL dan Jakarta. Saya pun segera menuju bagian Imigrasi. Ternyata counter imigrasi dipisah antara warga negara Malaysia dan non Malaysia. Kami pun berpisah tanpa mengucapkan kata berpisah. Terima kasih Pak Hendri dan Bu Yana.. 

Drama dimulai… 

Angkor Wat
Sabtu, 20/02, Sinyal wifi di bandara sangat buruk. Gratis 30 menit, tapi harus login 15 menit. Belum lagi sinyal yang kadang hilang. Hiks. Akhirnya komunikasi dengan Rida (teman yang bareng ke Kamboja) sempat terputus. Ia menginap di hotel yang lumayan jauh dari bandara. Menurutnya transportasi ke hotel sangat mahal, satu orang diwajibkan membayar  30 RM. Oh no! Bisa cuman sekali berangkat dan saya gak makan. Akhirnya saya memutuskan untuk tetap tinggal di bandara. Toh besok penerbangan paling pagi, sekitar jam 6.50. Saya pun segera mencari lapak untuk tidur. Tapi alih-alih mengantuk, mata saya malah semakin terbuka. Insomn
ia melanda. Untuk mengganjal perut, saya segera memakan gorengan yang saya beli di Jakarta. Alhamdulillah bisa menghemat. Ada untungnya selalu membawa tumblr dan tempat makan. Hehe. 
Saya pun pindah ke mushalla di dekat pintu keberangkatan. Ternyata bukan saya saja yang berkeinginan untuk tidur disana. Sudah ada lebih dari selusin perempuan yang menutupi dirinya dengan mukena dan tertidur disana. AC di mushalla sangat dingin, saya sampai harus menggunakan kaos kaki agar kaki saya tetap hangat. Jam 4 saya bangun karena kedinginan dan mulai mondar mandir mencari sesuatu yang bisa dimakan. Ternyata Rida sudah di gate keberangkatan dan ia membawakan saya pancake. How nice she is! Thank you Rida. 😀
Lucunya saya shalat subuh jam 5, padahal panggilan adzan di KL baru berkumandang pukul 06.10. haha. Dasar gak update.. dan tepat pukul 06.50, pesawat Air Asia pun take off menuju Siem Reap. Dan ternyata drama-drama lainnya akan terjadi disana. 
relief di Angkor Wat
Dua jam perjalanan dari Kualalumpur menuju Siem Reap. Saya sudah harus menggunakan bahasa inggris secara aktif. Karena setibanya di bandara Siem Reap, kami berdua seperti orang dodol. Karena ternyata ada dua form yang digunakan, satu untuk pengajuan visa, satu lagi digunakan bagi orang ASEAN yang berkunjung ke Siem Reap. Hmmm.. Selain itu ada masalah lebih gawat lagi, saya maupun Rida hanya mempunyai 100.000 rupiah, dikali dua jadi 200.000 rupiah. Hanya itu uang yang kami punya, tidak ada dollar, tidak ada mata uang lain. Karena kami datang terlambat dan terlambat memberi kabar, kami pun berinisiatif untuk memesan mobil dan mengantarkan kami ke hotel. 
Segera setelahnya kami menuju money exchange. Dari 200.000 rupiah yang kami berikan ke petugas, kami mendapatkan 47.450 Riel (mata uang Kamboja). Jadi sedikit banget. Hiks. Kami pun segera mencari moda transportasi menuju hotel. Awalnya kami ingin naik motor dengan biaya 2 dollar, tapi sang pemilik menyarankan untuk naik mobil 7 dollar. Karena kami tidak tau medan, kami pun menurut saja. Selagi Rida mengurus keberangkatan, saya ingin mengabadikan gambar ke arah bandara. Dan saya melihat seorang bapak yang memegang nama saya dan Rida. Haha. Berasa seperti orang penting. Ternyata bapak tersebut telah menunggu selama dua jam. Merasa serba salah, kami berencana memberikan tips, tapi karena bingung mengkonversi uang Riel, akhirnya kami tidak jadi memberikan tips. Wkwkw. Dodol banget ah.. 
Setibanya di hotel, salah satu Alumni YSEALI Cambodia, Nika menjemput kami. Dengan sigap ia memberikan kartu telpon, tag nama, dan map berisi dokumen-dokumen selama disini. Setelah mengganti baju dengan baju peserta, kami segera masuk ke dalam ruang konferensi. Ada penjelasan tentang Angkor Wat yang saat ini sudah mulai rusak karena terkena asam dan semakin kering sungai-sungai di Kamboja membuat struktur bangunan menjadi tidak stabil. Hiks, gak berapa lama, materinya selesai. Disana kami langsung dibagi di dalam tim untuk berangkat ke Angkor Wat. What? Gak ada istirahat langsung jalan-jalan. Haha. Hebat! 
Angkor Wat dari belakang

Kebetulan, saya dan Rida masuk dalam tim yang sama, Biodiversity Conservation. Kami bersama 4 anggota lain, Carol, Ika, Christian, dan Gump langsung masuk ke dalam mobil besar. Hanya butuh waktu 20 menit untuk tiba di Angkor Wat. Ternyata rutenya sama dengan bandara, jadi saya familiar dengan jalan yang dilewati. Tiba di pintu masuk, setiap orang diwajibkan bayar 20 dollar dan mendapatkan pass selama sehari.

Menuju Angkor Wat

Tujuan pertama kami adalah Angkor Wat, kuil terbesar di wilayah ini. Jadi sebenernya Angkor Wat bukan terdiri dari satu kuil. Tapi terdiri dari banyaaaaaakkk sekali kuil-kuil kecil. Angkor Wat sendiri berarti Capital Temple atau Pusat Kuil. Dari seluruh kuil disini, Angkor Wat merupakan kuil terbesar. Menurut Pek Dei (begini bacanya tapi saya gak tau gimana cara nulisnya. Sumpah!) dulu, sekitar 15 tahun lalu, kuil Angkor Wat tidak seperti ini. Namun karena hujan yang mengandung asam, relief-relief di kuil sudah mulai pudar. Kuil Angkor Wat sendiri dihiasi oleh ribuan relief di seluruh bangunan. Setiap relief dan setiap tingkat memiliki cerita masing-masing. Kami dijelaskan oleh pakar arkeologi dari Apsara Authority. Relief-relief tersebut banyak menceritakan tentang “Afterlife” atau kehidupan akhirat, konsep surga dan neraka memang mengurat mengakar di semua ajaran agama. Selain itu ada juga tentang sejarah peperangan, cerita tentang kemenangan dan kekalahan juga tergambar di relief-relief tersebut. 
Sebenarnya Angkor Wat memiliki tingkat paling atas yaitu berisi tentang benda-benda yang ditemukan di Angkor Wat atau disebut galleried temple. Tapi sayangnya kami tidak punya waktu untuk mengunjungi bagian tersebut. karena kami diarahkan untuk segera menuju mobil dan makan siang. Hohoh. Kami sempat mencicipi air manis yang berasal dari buah palem. Harga per gelas dibanderol 1 dollar. Saya sudah mulai curiga, kenapa disini pakai mata uang Dollar? Kenapa tidak pakai Riel? Hmm.. 

 

makan!!!!

 

Kami pun pergi makan siang di sebuah restoran khas Kamboja yang terletak di dekat Angkor Wat. Restoran yang menggunakan saung sebagai tempat makan, mirip seperti yang
ada di Indonesia. Bedanya gak ada kolam dibawahnya. Kering cuy. Mungkin lagi kemarau kali ya.. heheh. Makanan yang disajikan terlihat lezat. Sebuah ikan tawar, katanya sih mirip ikan lele tapi punya sisik lebih tebal dari ikan lele yang dibakar dan diberikan bumbu. Kemudian sup telur ikan (huaaaa ini gak ramah lingkungan!), potongan mangga muda dan cabai, serta telur dadar yang enak banget. Setiap kelompok mendapatkan jatah nasi dua bakul. Alhamdulillah. Kebetulan belum makan nasi sejak kemarin. Haha. 
There are no free lunch! Haha. Setelah makan siang kami diminta untuk mendiskusikan final project yang akan dipresentasikan esok hari. Saya dan Rida saling pandang. Kami seperti anak hilang. Haha. Project yang kami usung adalah tentang penyelamatan terumbu karang di Pulau Wangi-wangi. Ika adalah salah satu leader di Conservation International yang based di Wakatobi. Pantesann.. 😀 setelah diskusi kami pun melanjutkan perjalanan ke kuil kedua, Bayon temple. 
Kuil ini mulai dikenal sejak Lara Croft Tomb Raider yang diperankan oleh Angelina Jolie datang kesini pada tahun 2000. Kuil yang ditumbuhi oleh pohon-pohon raksasa merupakan pemandangan yang sangat menarik. Walaupun pohon-pohon ini tumbuh besar, mereka tak menghancurkan konstruksi bangunan. Tapi bangunan terlihat rapuh dan bisa rubuh kapan saja. Karena itulah pihak konservasi Angkor Wat rutin melakukan pengecekan terhadap bangunan kuil di Angkor Wat, termasuk Ta Prohm. Bayon temple merupakan kuil yang sangat kontras diantara seluruh bangunan di dalam wilayah Angkor Wat. Karena ini merupakan kuil bagi Budha. Banyak simbol Budha di seluruh bangunan ini. Menurut sejarah, kuil ini merupakan penghormatan bagi Jayavarman II. Seluruh bangunan terlihat menakjubkan, ada 216 relief patung bergambar wajah. Wajah-wajah ini dipercaya sebagai representatif dari Jayavarman II sendiri. Kami menghabiskan waktu sekitar 1 jam disini, karena kami harus menuju kuil ketiga. Sebuah kuil yang terkenal oleh lokasi syuting film Tomb Raider, Ta Prohm.
 
 

Menurut sebuah website yang bercerita tentang kuil ini, sejak kehadiran film Tomb Raider mendongkrak nilai jual wisata Angkor Wat. Ada kenaikan signifikan dibandingkan saat pertama kali Angkor Wat dibuka pertama kali untuk umum pada tahun 1990. Pek Dei yang lahir di Kota Siem Reap menjelaskan bahwa dengan adanya turisme di Siem Reap ekonomi di kota ini menggeliat. Padahal dulunya kota ini adalah kota pinggiran yang jarang ditempati. Lebih banyak orang yang mengadu nasib di Phnom Penh dibandingkan berjuang di kota ini. Namun setelah adanya pembukaan Angkor Wat ditambah bombastisme film Tomb Raider, para warga memilih bertahan sebagai penyedia jasa bagi turis. Misalnya saja menjadi pengendara tuk-tuk (moda transportasi di Kamboja), pedagang suvenir, pedagang makanan dan minuman, serta profesi lainnya. 
 

saya Tomb Raider, eh Adhie Coker

 

relief dinosaurus yang membuat bingung banyak pakar arkeologi

Ada hal yang menarik disini, menurut teman yang berasal dari Indonesia, Hendra, anak-anak kecil di lokasi Angkor Wat mampu melafalkan 14 bahasa internasional. Jadi mereka melakukan percakapan dengan calon pembeli barang dagangan mereka menggunakan bahasa asal turis tersebut. WOW! Sayangnya si anak tidak bisa bahasa Indonesia, sepertinya jarang turis Indonesia yang datang kesini. Hehe.

Hendra dan adik kecil penjual postcard
Setelah puas berkeliling, waktu sudah menunjukkan pukul 18.32 (Waktu Kamboja), dan ternyata waktu yang ditunjukkan sama dengan waktu Jakarta. Tidak ada perbedaan waktu. Setibanya di hotel kami mandi dan melakukan pertemuan tentang Final Project besok. Setelah itu, saya, Rida dan Ika mulai menjelajah Kota Siem Reap ini. 

Menjelajah Kota Siem Reap dan mencari makanan halal

Penjelajahan pertama adalah mencari makanan halal, mata kami terfokus pada toko Pizza di perempatan jalan raya. Stiker berlabel halal terpampang besar di kaca jendela mereka. Selain itu mereka memiliki penawaran yang menarik. Buy 1 get 1! Wuuuhhuuu. Tak perlu waktu lama bagi kami untuk memesan pizza. Setiap pizza dibanderol dengan harga 10 dollar. Tuh kan, kenapa mereka pake dollar bukan pake riel? Tapi saya terlalu lapar untuk berpikir. Haha. Setelah makan, kami pun sepakat untuk membayar pizza dengan mata uang riel. Ternyata mereka tetap menerima uang riel, tapi karena lebih banyak turis yang datang membawa uang dollar, mereka pun menggunakan uang dollar dalam transaksi agar lebih mudah. Hmm.. tapi sebenarnya itu berdampak buruk bagi nilai mata uang mereka sendiri. Semoga Bali tetap menggunakan rupiah walaupun banyak yang datang ke Bali bawa dollar. 
Setelah itu kami pun menuju Night Market sekedar membeli oleh-oleh bagi keluarga. Sama seperti pizza, disini semua dibanderol dengan dollar. “T-shirt, lady, 5 dollar each”, panggil seorang ibu-ibu. Walah, mahalnya! 50 ribu donk satu kaos. Padahal saya dengar bahwa seorang teman, Anhar berhasil menawar 3 kaos seharga 5 dollar. Saya dan sang ibu pun berdiskusi. Harga akhir adalah 6 dollar untuk 4 buah kaos. Lumayan.. 

Setelah Rida dan Ika selesai mencari oleh-oleh, kami pun menuju Pub Street. Tempat ini didaulat sebagai tempat yang “Happening” abis. Kalau datang ke Siem Reap harus mencicipi Pub Street. Padahal ini cuman sebuah jalanan yang disisi kanan dan kiri bar-bar yang menyediakan minuman keras sambil menyetel musik keras. Kami yang berjilbab ini masuk ke dalam kerumunan manusia yang joget-joget gak jelas. Wkwkw. Setelah foto-foto, kami segera beranjak dari tempat tersebut.

Setibanya di hotel, saya langsung terkapar. Lelah. 
Keesokan harinya, Minggu (21/02) kami segera berkumpul di ruang makan. Laper abis. Tapi yang terhidang adalah makanan yang mengandung babi. Nasi goreng babi, sosis babi, sup babi, dan lain-lain. Haha. Merasa kurang beruntung, saya pun segera mengambil sereal dan memesan omelette berisi irisan jamur dan paprika. 
Setelah itu kami pun segera berkumpul di ruang konferensi untuk presentasi final project kami. Waktu yang diberikan sekitar 10 menit untuk presentasi dan tanya jawab. Ada 10 kelompok yang mempresentasikan final project mereka. Jika projectnya bagus dan applicable, juri akan merekomendasikan untuk memasukkannya ke dalam program pendanaan oleh U.S. Dan pemenangnya adalah SustainArtAbility, dimana project yang ditampilan sangat unik dan masih tergolong baru. 
Setelah pengumuman pemenang, kami disuruh kembali ke kamar masing-masing untuk persiapan keberangkatan. Nyaris semua peserta akan pulang hari ini dan beberapa akan tetap tinggal di Kamboja untuk jalan-jalan. Bye-bye Kamboja. Choum reap lear, Cambodia.. 
Barengan Andrew Siaw. 😀

 

Setibanya di Kualalumpur kami segera menuju Hotel Sri Langit, karena Andrew salah satu teman Malaysia kami sudah menunggu disana. Ia mengajak kami makan malam. Ternyata Andrew sudah observasi tempat dan membawa kami ke sebuah rumah makan India. Lokasinya tidak terlalu jauh dari hotel, kalau tidak salah nama daerahnya adalah Bandar Baru. Rumah makan tersebut terlihat sederhana namun ramai. Sebenarnya sejak dua minggu lalu saya ingin sekali makan Nasi Biryani, tapi sialnya, Andri yang mendapatkan porsi terakhir. Hiks. Akhirnya saya makan nasi goreng dengan kuah kare. Ditambah roti canai yang kuahnya enaaaakkk banget. Astaga. Mau nambah tapi perut udah full banget. Untuk itu semua, saya harus membayar 5 RM. Sounds good. 
Alhamdulillah tidur dan ternyata drama belum selesai sampai disini..

Another Drama di bandara

Esok paginya saya terlambat bangun. FYI, siklus tidur saya selama 6 jam dan tidak bisa ditolerir. Kalau tidur jam 12, pasti akan bangun jam 6. Begitu seterusnya. Karena tadi malam saya berpatokan dengan jam tangan, bukan ke hape, saya pun salah lihat jam. Menurut pengetahuan saya, saya tidur pukul 12 malam. Ternyata saya tidur jam 1 dan terbangun pukul 06.40. telepon kamar berdering berkali-kali. Segera setelahnya saya mandi dan siap-siap. Pukul 07.05 ternyata mobil yang menuju bandara sudah berangkat! What! Saya pun disuruh membayar 30 RM lagi karena mengambil mobil di luar jadwal. 
Selama di perjalanan, saya banyak mengobrol dengan Rida mengenai pembayaran ekstra yang harus kami bayar karena terlambat 5 menit. “Gak apa-apa lah, da, daripada ketinggalan pesawat nanti. Pesawatku jam 9.10, “ ujarku menenangkan Rida. Setibanya di pintu masuk bandara, saya mencari handphone, karena disana tertera kode booking pesawat. Namun apa daya, ternyata hape saya tidak ada di dalam tas kecil. Saya pun panik. Rida dan Ranitya saya minta untuk segera ke boarding room, jangan sampai mereka terlambat gara-gara saya. 
Pada saat itu saya hanya memikirkan dimana saya bisa mendapatkan telepon umum. Setelah berlari dan bertanya sama beberapa orang, akhirnya saya mendapatkan telepon umum. Bodohnya, karena bahasa Melayu saya yang tidak fasih dan bahasa inggris yang tersengal-sengal, resepsionis menanyakan hal-hal yang menurut saya tidak ada hubungannya sama sekali dengan hape. Saya yakin ada misskomunikasi. Tapi saya tetap menunggu di depan pintu kedatangan bandara. 
15 menit berlalu. Saat itu sudah menunjukkan pukul 08.15. saya panik dan akhirnya memberanikan diri untuk meminjam hape seorang pegawai Valet Parking. Karena ia menggunakan kerudung, saya pun segera meminta tolong untuk meminjam telepon. Salah seorang temannya membantu saya mencarikan nomor telpon Sri Langit. Dan betul dugaan saya, resepsionis salah paham dengan permintaan saya. Ia malah mencari hape di dalam kamar saya. Ckckc. Saya semakin senewen. Saya pun meminta nomor telpon supir yang membawa saya ke bandara. 
Saya sudah panik. Karena pesawat akan terbang dalam waktu 30 menit lagi. Areen, si pegawai, menyarankan untuk segera ke boarding. Tapi booking code ada di hape tersebut. Uang di dompet sisa beberapa lembar rupiah, riel dan pecahan dollar. Entah cukup atau tidak jika saya harus membeli tiket pesawat baru. Saya pun bimbang. Supir baru mau menuju ke bandara, butuh waktu 20 menit untuk tiba ke bandara. Sedangkan bandara ini sangat luas, saya ragu bisa mencapai gate L 3 dalam waktu 10 menit. Hiks. 
Areen menawarkan dua opsi. Opsi pertama, saya naik pesawat sekarang, kalau hape datang, hape ditinggal di Malaysia dan nanti dia akan kirimkan ke Indonesia. Opsi kedua adalah saya tetap menunggu supir datang dan kemungkinan besar saya membeli tiket pesawat baru. Setelah menimbang, saya tetap di opsi kedua. Betul saja, pukul 08.30 supir datang. Ia meminta uang 120 RM, karena telah mengantarkan hape saya dan menolak jemputan turis di bandara klia 1. Tapi saya menunjukkan isi tas saya yang benar-benar kosong. Semua mata uang yang saya punya, langsung saya serahkan kepada supir tersebut. pecahan rupiah, pecahan dollar, pecahan riel dan pecahan ringgit. Untungnya sang supir berbaik hati, mungkin melihat muka melas saya. Hiks. 
Saya segera berlari masuk sambil melambaikan tangan kepada Areen dan temannya. Mereka malaikat saya pada waktu itu. Di pintu keberangkatan, ternyata saya sudah tidak bisa check in via machine. Saya pun segera berlari ke counter Air Asia. Setelah boarding pass di print, ternyata pesawat di delay karena masalah teknis. Alhamdulillah!! Saya punya lebih banyak waktu untuk menuju gate L 3. Benar-benar hari yang penuh drama. Alhamdulillah saya pun tiba di Jakarta dengan selamat. 
Perjalanan ini merupakan salah satu deretan perjalanan gila. Semoga saya bisa mengambil pelajaran dari pengalaman tersebut. hahaha. Menjaga hape dengan baik dan benar adalah salah satu poin penting. 😀
Ditulis di Rasuna 20 D, Jakarta
17:52 WIB, 27 Februari 2016
Sambil dengerin lagu Yiruma –  River Flow in You.

Drama Dua Hari di Kamboja bersama YSEALI

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua. Quis ipsum suspendisse vel facilisis.

2 Responses

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Categories

    Trending posts

    No posts found

    Subscribe

    Lorem ipsum dolor amet, consecte- tur adipiscing elit, sed tempor.