Bagi sebagian orang merokok merupakan sebuah kenikmatan, apalagi di saat situasi serba tak pasti seperti masa pandemi. Aliran dopamin yang dihasilkan nikotin membuat otak menjadi lebih terelaksasi. Tapi bagaimana jika di kala pandemi, nyawa para perokok masuk dalam kategori rentan untuk terkena virus mematikan?

Rokok dan Nusantara

Masuknya rokok di dalam Nusantara tak pernah lepas dari kultur budaya. Di beberapa banyak literatur mengatakan bahwa rokok telah menjadi bagian dari banyak orang. Salah satunya adalah kisah Roro Mendut, yang sedikit menceritakan seorang panglima perang kepercayaan Sultan Agung menjual rokok ‘klobot’. Rokok kretek yang dibungkus dengan kulit jagung kering. Kaum lelaki pada saat itu banyak jadi pembeli dan sangat menyukainya.

Sejarah panjang rokok pun mewarnai kisah di Indonesia. Salah satunya adalah kisah ‘heroik’ Agus Salim yang diceritakan oleh Pramoedya Ananta Toer dalam bukunya “Kretek Kajiian Ekonomi & Budaya 4 Kota”. Agus Salim yang sedang menghadiri penobatan Ratu Elizabeth II di Buckingham Palace.

Pangeran Phillips yang saat itu terlihat canggung di acara tersebut didekati oleh Agus Salim. Lalu beliau mengayun-ayunkan rokok di hadapan muka Pangeran Phillips. “Paduka, adakah Paduka mengenali aroma (bau) rokok ini?” Dengan menghirup-hirup secara ragu-ragu, Sang Pangeran mengakui bahwa ia tak mengenal aroma rokok tersebut. Haji Agus Salim ‘pun dengan senyum mengatakan, “Inilah sebabnya 300 atau 400 tahun yang lalu bangsa Paduka mengarungi lautan mendatangi negeri saya.”

Sejarah rokok yang panjang di Nusantara selalu terkait melilit di berbagai kisah. Namun, apakah kisah zaman dulu bisa disamakan dengan keadaan zaman sekarang? Di saat kondisi lingkungan yang banyak tercemar, tak banyak oksigen yang segar, serta munculnya strain virus-virus baru yang belum ada obatnya. Apalagi dalam keadaan pandemi seperti ini?

Nikmat Sesa(a)t dari Dopamin

Kebanyakan orang memahami bagaimana merokok memengaruhi paru-paru dan jantung, tetapi yang kurang diketahui adalah dampak nikotin pada otak. Salah satu dampak dari nikotin adalah mengaktifkan sinyal dopamin. Sebuah hormon yang dikenal menciptakan sensasi menyenangkan.

Hormon dopamin memainkan peran terhadap suasana hati dan dapat dikatakan sebagai hormon kebahagiaan. Ketika sinyal dopamin dialirkan kedalam otak, pengguna akan merasa bahagia dan nyaman.

sumber : Kemenkes

Ketika mendapatkan perasaan bahagia dan nyaman itulah perokok mulai merasakan sensasi tidak nyaman saat tidak merokok. Ketika hal itu terjadi, perokok akan mulai menyalakan rokok lagi. Siklus inilah yang membuat perokok sulit berhenti.

Apalagi di saat pandemi yang membuat orang lebih gamang, galau dan mudah khawatir terhadap kehidupannya. Ditambah lagi dengan keterbatasan gerak, tak ayal konsumsi rokok jadi meningkat.

Merokok Buruk bagi Kesehatan di Saat Pandemi

Merujuk pada survei yang dilakukan oleh Komnas Pengendalian Tembakau terhadap lebih 600an responden. Dari hasil survei, responden yang merokok mengakui bahwa mereka tetap mengeluarkan uang untuk rokok. Bahkan ada 13% responden yang mengaku bahwa konsumsi rokoknya meningkat di saat pandemi.

Merujuk pada data yang dirilis oleh WHO, pada 55.924 kasus Covid-19 yang diteliti di laboratorium menunjukkan bahwa angka kematian kasar (crude death rate) pada pasien Covid-19 yang memiliki penyakit bawaan akibat rokok jauh lebih tinggi, ketimbang non-perokok.  Tak hanya itu, perokok yang terinfeksi Covid-19 dapat berujung dengan perawatan di ICU dan menggunakan ventilator. Ini menunjukkan bahwa kondisi yang sudah ada sebelumnya dapat meningkatkan kerentanan individu tersebut terhadap Covid-19.

Padahal ada beberapa hal yang membuat rokok rawan di saat pandemi seperti ini. Merujuk pada pernyataan Dokter Spesialis Paru, Agus Dwi Susanto dalam artikel CNN.com, merokok seharusnya dihindari di saat pandemi. Kenapa?

  1. Merokok menyebabkan gangguan pada sistem imunitas
  2. Merokok meningkatkan regulasi reseptor ACE2
  3. Merokok menyebabkan terjadinya komorbid
  4. Aktivitas merokok meningkatkan trasmisi virus ke tubuh melalui media tangan yang sering memegang area mulut saat merokok

Bukankah hal itu sudah cukup menakutkan untuk meneruskan kebiasaan merokok? Itu dari segi kesehatan bagaimana kalau dari segi ekonomi?

Kebutuhan pokok vs kebutuhan rokok

Dalam setahun terakhir BPS merilis data pengeluaran barang non-konsumsi per kapita lebih dari 50%. Disarikan dari website KBR, uang yang dikeluarkan untuk rokok 6% secara rata-rata nasional. Pengeluaran rokok lebih besar daripada uang untuk beras 5% sebulan. BPS mencatat khususnya kretek filter jadi penyumbang kemiskinan kedua setelah makanan.

Sebuah angka yang fantastis untuk sebuah pengeluaran rokok. Bahkan ada pengandaian dari Kepala BPS , Sunyamin yang mengatakan bahwa ketika seseorang yang dikatakan miskin mengonsumsi rokok bisa jadi ia tidak jadi miskin ketika tidak merokok. Hal ini dikarenakan ia bisa mengalihkan pengeluaran rokoknya menjadi pengeluaran yang lain.

“Ketika seseorang yang dikatakan miskin ini mengkonsumsi rokok, ada kemungkinan Ia menjadi tidak miskin apabila mengalihkan pengeluarannya untuk rokok menjadi pengeluaran untuk komoditi makanan yang memiliki kilokalori” – Sunyamin, Kepala BPS

Hal ini pun diamini oleh M Nur Kasim selaku Ketua RT 1/ RW 3 dari Kampung Bebas Asap Rokok dan Covid-19 di Cililitan Jakarta. “Uang yang biasanya dibelikan rokok, jadi bisa diberikan untuk hal yang lain dan bisa menambah jajan anak,” ujarnya ketika ditanya soal perubahan setelah diberlakukan larangan merokok di kampung tersebut.

Jika melihat data, jumlah pengeluaran perokok untuk rokok ini tersebar di perkotaan dan perdesaan. Dengan angka yang lumayan besar, 11,17% untuk di perkotaan dan di pedesaan menunjukkan angka 10,37% di pedesaan.

Kenapa Rokok dianggap Normal?

Menurut Nurul Nadia dalam podcast Bersama KBR “Pandemi: Kebutuhan Pokok vs Kebutuhan Rokok”, tak ayal jika di banyak konsumsi rumah tangga rokok dianggap pengeluaran normal. Padahal rokoknya tidak bisa dianggap normal. “Lebih dari 10 laki-laki merokok, sehingga orang diluar akan dianggap outliners atau minoritas. Ditambah kebijakan masih belum berjalan optimal. Merokok dianggap normal dan dianggap dari kebutuhan hidup sehari-hari, padahal kebutuhan kesehatan, pendidikan harus dianggap lebih utama,” paparnya.

Kenapa rokok jadi pola hidup? Harganya masih sangat murah. Menurut Nurul masih lebih banyak orang yang melihat rokok sebagai sebuah benda yang sangat murah. “Mie rebus saja sudah murah, tapi ada lagi yang lebih murah, yaitu rokok. Hal ini yang membuat orang merasa masih bisa membeli rokok,” ujarnya. Belum lagi fakta bahwa rokok banyak dikonsumsi oleh warga dengan taraf ekonomi menengah ke bawah, membuat kabar ini semakin mengejutkan.

Nurul menyatakan bahwa kebanyakan kelompok rentan yang menjadi korban utama dari perilaku itu sendiri. Salah satunya adalah kisah tentang Ayah saya sendiri.

#PutusinAja Rokok Sebagai Kado Pernikahan

Cerita tentang Ayah saya yang akhirnya berhenti merokok setelah hampir lebih dari 20 tahun menjadi salah satu hal yang kami syukuri. Karena beliau mulai merokok sejak kuliah, setiap harinya satu bungkus akan beliau hisap.

Kami selalu berdebat tiap hari, hingga beliau berhenti tiba-tiba di tahun 2012. Setelah batuk darah yang menyerangnya. Beliau kehilangan banyak bobot tubuhnya saat itu. Masih jelas Ayah agak kesulitan untuk berhenti, satu dua batang masih dihisap.

Seperti yang dikatakan oleh Nurul dalam materinya bahwa memang perokok akan sulit berhenti karena adiksi yang ditimbulkan oleh nikotin. Para perokok membutuhkan waktu yang lama agar benar-benar bisa sembuh dari ketagihan rokoknya. Hal ini yang kami rasakan juga ketika menemani Ayah berjuang untuk lepas dari rokoknya.

Hingga akhirnya Ayah berhenti total setelah rutin melakukan bekam, olahraga dan meminum ramuan herbal. Kami bersyukur sekali, akhirnya Ayah berhenti merokok. Bunda yang menemani prosesnya juga ikut berbahagia setelah melihat perubahan pada suaminya. Bisa dikatakan, berhentinya Ayah dari merokok merupakan kado pernikahan yang terindah buatnya.

Setelah batuk darah pada tahun 2012, sekarang kami agak was-was saat pandemi seperti ini. Karena seperti yang kami tahu paru-paru perokok sudah rusak sehingga sangat rentan dengan virus yang menyerang sistem pernafasan. Tak ayal tingkat proteksi buat beliau kami tingkatkan. Minum empon-empon dan vitamin C, memintanya berjemur, serta olahraga ringan adalah hal yang tak pernah alpa untuk kami lakukan. Semoga cara kecil ini bisa bermanfaat buat beliau.

Kesimpulan

Buat orang-orang yang masih merokok lebih baik berhenti dan gunakan masa pandemi ini sebagai titik balik untuk berhenti merokok. Mungkin agak sulit, tapi ingatlah orang-orang yang menyayangi Anda. Karena nyawa Anda begitu berarti bagi orang yang selalu berdoa untuk Anda. 🙂

 

ditulis di Tajurhalang

23:18 Sabtu, 19 September 2020

 

“Saya sudah berbagi pengalaman pribadi untuk #putusinaja hubungan dengan rokok atau dorongan kepada pemerintah untuk #putusinaja kebijakan pengendalian tembakau yang ketat. Anda juga bisa berbagi dengan mengikuti lomba blog serial #putusinaja yang diselenggarakan KBR (Kantor Berita Radio) dan Indonesian Social Blogpreneur ISB. Syaratnya, bisa Anda lihat di sini.

 

 

Sumber :

Pernyataan WHO Penggunaan Tembakau dan COVID-19 – https://www.who.int/indonesia/news/detail/11-05-2020-pernyataan-who-penggunaan-tembakau-dan-covid-19

Sejarah Kretek di Indonesia – https://nasional.okezone.com/read/2017/10/03/337/1788041/sejarah-kretek-di-indonesia-yang-sempat-disebut-rokok-obat

Survei 49 perokok Lanjutkan Kebiasaan meski Pandemi – https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20200915130930-260-546657/survei-49-persen-perokok-lanjutkan-kebiasaan-meski-pandemi

Catatan BPS Pengeluaran Rokok Lebih Besar – https://money.kompas.com/read/2020/04/28/174823326/catatan-bps-pengeluaran-rokok-lebih-besar-dari-kebutuhan-beras?page=all

WHO Perokok Tembakau Berisiko Tinggi Kena Covid – https://kesehatan.kontan.co.id/news/who-perokok-tembakau-dan-sisha-berisiko-tinggi-terkena-covid-19?page=all

Rokok dan Kemiskinan – https://www.bps.go.id/news/2016/02/16/133/rokok-vs–kemiskinan.html

http://p2ptm.kemkes.go.id/infographic-p2ptm/penyakit-paru-kronik/page/11/siklus-adiksi-nikotin-siklus-yang-membuat-perokok-sulit-berhenti-merokok

Kenapa Rokok itu Nikmat di Masa Pandemi?

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua. Quis ipsum suspendisse vel facilisis.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Categories

    Trending posts

    No posts found

    Subscribe

    Lorem ipsum dolor amet, consecte- tur adipiscing elit, sed tempor.