Namanya Pak Rahman, umurnya tidak ia ketahui secara pasti. Ia hanya menyebutkan angka 70 untuk membuat saya tidak lagi bertanya mengenai umurnya. Ia sudah tinggal di Flores sejak lama. Awalnya ia lahir di Kabupaten Ende, namun ia memutuskan untuk menjadi nelayan dan pindah di Wuring. Dimana di daerah Wuring, banyak warga pendatang dari Sulawesi Selatan seperti Bone, Sinjai, Bulukumba, Makassar dan Maros. Ia pun menikah dengan salah seorang wanita keturunan Bugis. 
Sejak saat itu ia pun berprofesi sebagai nelayan. Pekerjaan yang ia pilih ini rupanya membuat hidupnya memiliki banyak cerita. Ia berkisah mengenai ikan-ikan yang dulu sangat mudah dipancing. Ikan-ikan pelagis seperti ikan tembang, ikan layang, ikan ekor kuning bisa ia dapatkan dengan mudah di bawah rumah panggung. 
Dulu ia hanya menggunakan sampan kecil yang digerakkan oleh dayung. Ia hanya menggunakan tali senar untuk memancing ikan. Saat itu belum ada kapal-kapal besar yang berseliweran di Laut Flores. Ia pun tidak terlalu jauh mencari ikan. Cukup satu jam, ia bisa mendapatkan puluhan ekor. 
Ia juga bercerita mengenai ikan paus besar yang menyemburkan air di teluk Wuring. Paus-paus akan datang jika musim barat telah datang. Mereka seakan menjadi pertanda bagi Pak Rahman untuk menentukan musim barat. Atau dugong besar yang menyantap daun-daun lamun di dekat Teluk Maumere. 
Namun semua itu hanya nostalgia masa lalunya. Ketika air laut masih bersih. Saat orang-orang belum mengenal plastik pembungkus makanan. Penduduk yang tinggal di Wuring belum sepadat ini. Nelayan tidak menangkap ikan-ikan kecil. 
Pak Rahman menceritakan beberapa musim tangkap yang pernah terjadi di Laut Flores. Pada tahun 1980 an pernah booming penangkapan ikan hiu, penyu dan lumba-lumba. Mereka menjual sirip hiu dengan harga tinggi. Pengepulnya akan mengirimkan ke Surabaya. Saat itu, hiu bisa didapatkan setiap hari pada musim barat. Pak Rahman masih ingat hiu yang paling besar yang pernah ia lihat, tiga kali lipat dari tubuhnya. Siripnya ia jual ke pengepul sirip ikan hiu kemudian dikirim ke Makassar, sedangkan dagingnya dijual ke Papalele (pengepul ikan dan dijual ke pasar lokal). Para penangkap hiu ini bisa hingga berlayar sampai ke Kepulauan Aru. 
Selain trend penangkapan ikan hiu, nelayan juga pernah menangkap penyu, mereka menjual sisiknya dengan kisaran harga hingga 2 juta rupiah. Mereka menggunakan tombak (Ladoh dalam bahasa Bajau) untuk membunuh penyu. Mata tombak akan menembus kulit penyu dan membuat penyu tak bisa bergerak. 
Pada tahun 1992 setelah gempa terjadi, nelayan mulai menggunakan bom dan bius untuk mendapatkan ikan. Bius dan bom ini dibawa dari Madura dan Sumbawa. Jenis bom yang mereka gunakan adalah semacam granat yang berdaya ledak tinggi. Daerah tangkap hingga sampai diperairan Australia. Banyak nelayan yang ditangkap bahkan pernah ada yang mati tertembak oleh peluru tentara Australia. Selain tertangkap nelayan juga beresiko kehilangan anggota tubuh mereka. Karena itu jangan heran ketika melihat nelayan yang tidak memiliki lengan di daerah Wuring. 
kapal jenis Lampara (Purse Seine)
Namun saat ini kita sudah sulit menemukan nelayan yang menggunakan bom. Karena peraturan pemerintah yang sangat ketat mengenai bom ikan. Banyak nelayan yang masuk penjara karena kasus bom ikan pada tahun 2000 an. Penggunaan bom untuk menangkap ikan bukan hanya di daerah Wuring saja, namun nyaris seluruh nelayan di Flores. 
Hingga akhirnya pemerintah menyumbangkan mesin untuk sampan-sampan nelayan. Lama kelamaan pemerintah memberikan bantuan kepada kapal-kapal besar (Lampara atau kapal Purse Seine yang menggunakan pukat lingkar). Hal ini menggeser para pemancing tradisional yang menggunakan alat tangkap tradisional. 
Saat ini ketika musim ikan tuna jarang, nelayan hanya mendapatkan tiga ekor ikan tongkol yang dijual 15 ribu. Atau terkadang mereka hanya mendapatkan satu ekor ikan saja. Harusnya pada bulan-bulan Maret seperti ini mereka sudah bisa mendapatkan ikan tuna, namun tampaknya alam masih belum mau berbaik hati. Mereka masih sulit mendapatkan ikan tuna. 
Pak Rahman sadar benar bahwa perubahan pola tangkap disebabkan oleh ulah nelayan pada zamannya. Ia pun menyesal. Untuk menebus dosa-dosanya ia tidak pernah menangkap ikan-ikan kecil lagi. Ia mulai sadar untuk memberikan kesempatan bagi ikan untuk tumbuh. Karena kesadaran individual mampu menumbuhkan kesadaran kolektif. Ia pun berharap agar nelayan di Wuring tidak membuang ikan-ikan kecil lagi. 
Ditulis di Kamar Kost
Selasa, 25 Maret 2014, 12:18 Wita

Nostalgia Kelam Nelayan Bajau di Wuring

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua. Quis ipsum suspendisse vel facilisis.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Categories

    Trending posts

    No posts found

    Subscribe

    Lorem ipsum dolor amet, consecte- tur adipiscing elit, sed tempor.