*Tulisan ini dibuat ketika “tergelitik” menyikapi Realita Musik Anak Indonesia saat ini..

Siang itu, adik saya, Maulana Abdurahim, pulang dari sekolahnya. Sebuah sekolah swasta kecil terletak di daerah pinggir kota Bogor, Bojonggede.

Ia menyanyikan sebuah lagu yang sering diputar di acara televisi setiap pagi hari. “Baby, I Love You, Love You, Love You So Much…..”. Ia melafalkan lagu sebuah girl band di Indonesia itu dengan lancar. Bak ia mengerti arti lagu tersebut. Lagu yang didominasi dengan bahasa inggris, ia lafalkan dengan cukup baik untuk seukuran anak SD kelas 1. Sebuah realita yang terjadi di sekitar kita, saya pikir, bukan hanya saya saja yang merasakannya.
Terusik dengan lagu yang ia nyanyikan, saya pun iseng menanyakan arti lagu tersebut. Ia pun menggeleng dan tersenyum sambil menunjukkan gigi ompongnya. “Dede’ cuma dengar dari teman-teman di sekolah,” ujarnya santai, terkikik.
ilustrasi : @adliencoolz

Saya pun geleng-geleng kepala, anak zaman sekarang lebih mengenal musik dewasa daripada lagu anak-anak yang harusnya dia hafal. Lagu dewasa saya kategorikan sebagai lagu yang bicara soal cinta-cintaan dengan sesama, keputusasaan, dan lagu bahagia karena cinta. Beberapa lagu malah banyak menyodorkan hal-hal yang seharusnya tidak boleh didengar oleh anak-anak. Seperti kata “Cium”, “Bunuh”, “Bunuh Diri”, dan kata-kata lain yang tak pantas.

Menurut kalangan ahli pendidikan di seluruh dunia, perkembangan yang diperoleh pada masa usia dini sangat memengaruhi perkembangan anak pada tahap berikutnya dan meningkatkan produktivitas kerja di masa dewasanya. Pendidikan dini bukan hanya memiliki fungsi strategis, tetapi juga mendasar dan memiliki andil memberi dasar kepribadian anak dalam sikap, perilaku daya cipta, dan kreativitas, serta kecerdasan kepada calon-calon SDM masa depan.
Para ahli teori perkembangan menyebut usia dini sebagai “The Golden Age” (Masa Emas). Sejak lahir anak memiliki lebih kurang 100 miliar sel otak, sel-sela saraf ini harus rutin distimulasi dan didayagunakan agar terus berkembang jumlahnya. Pertumbuhan otak anak ditentukan bagaimana cara orangtua mengasuh dan memberikan makan serta memberikan stimulai pendidikan.
Saya pun mencoba mengadu pengetahuannya tentang lagu anak-anak, ia hanya bilang bahwa ia hafal lagu “Naik Kereta Api” dan “Lihat Kebunku”. Karena gurunya di sekolah sering menyanyikan kedua lagu tersebut. Lagu yang ia nyanyikan pun tak sebagus lagu dewasa yang ia nyanyikan tadi.
Tak ayal aku pun tersenyum kecut. Si Bungsu dalam keluarga saya lebih mengenal lagu dewasa dibanding dengan lagu anak-anak. Ingatan saya pun kembali ke 19 tahun yang lalu. Ketika saya masih kecil, saat itu tahun 1995-an, lagu anak-anak seperti Maisy, Chikita Meidy, Agnes Monica, Trio Kwek-kwek, Joshua dan Tina Toon masih sering didengar. Setiap pagi, saya menonton acara musik yang dikhususkan untuk anak-anak.
ilustrasi @adliencoolz
Lagu-lagu seperti “Ambilkan Bulan Bu”, “Cilukba”, Tepuk Tangan”, “Cuit-cuit”, “Primadona”, “Ayo, menabung” dan lain sebagainya bisa saya nyanyikan dengan nyaris sempurna. Maklum, saya senang jika orang melihat kemampuan saya bernyanyi. Dari kecil saya memang dikenal sebagai anak narsis. Saya tertawa jika mengingat waktu saya berjingkat-jingkat lucu sambil menyanyikan lagu “Diobok-obok” milik Joshua. Sebuah kenangan indah masa kecil.
ilustrasi : @adliencoolz

Lagu-lagu yang saya dengar masih bisa dicerna oleh anak berumuran seperti saya. Tidak membutuhkan olah pikir yang berat sehingga tidak bisa ditangkap oleh anak kecil. Sebut saja lagu “Pelangi”, “Balonku ada Lima”, “Ambilkan Bulan Bu,”, dan lain sebagainya. Walau ketika saya besar,  saya menyadari bahwa ada beberapa kata yang tidak tepat dalam lagu tersebut.

Nah, sekarang tugas kita sebagai orang-orang terdekat dengan anak-anak, sudah seharusnya memberikan aware atau peringatan sejak dini. Ada beberapa saran dari saya untuk menjaga anak atau keluarga dari pengaruh buruk lagu-lagu dewasa.
1. Membatasi menonton “kotak kaca” agar tak selalu ikut arus dalam menghafal lagu-lagu dewasa. Di rumah, acara yang berbau musik agak jarang di setel di rumah. Namun adik saya menghafal dari lingkungan sekolah.
2. Nyalakan TV pada jam-jam tertentu, seperti pagi ketika film kartun diputar atau sore ketika film edukasi anak disiarkan. Sebelum berangkat sekolah, Maulana selalu duduk di depan TV nonton acara “Spongebob Squarepants” sambil menguyah sarapan paginya. Saya dan beberapa adik yang lain, ikut menonton bersama sebelum kami bersama-sama berangkat sekolah.
3. Biasakan temani anak menonton TV, jangan biarkan mereka memegang remote TV sendirian. Karena menonton TV sendirian tanpa dikontrol akan membuat anak terbiasa memilih sendiri acaranya. Di rumah, cuman anak pertama, kedua dan ketiga yang memegang remote. Karena kita bertiga sudah lebih “dewasa” dibandingkan ketiga adik yang lain.
ilustrasi : @adliencoolz

4. Usahakan punya TV kabel, jadi saluran-saluran yang tidak penting bisa dikontrol. Jadi, siaran edukasi untuk anak bisa kita pilih sendiri. Ini pengalaman dari tempat tinggal saya di Makassar, ada seorang dosen yang bercerita bahwa ia memesan TV kabel untuk menjaga anaknya dari program TV yang tidak bertanggung jawab. Seperti sinetron atau acara-acara mistis yang selalu ditayangkan di TV. Selain itu, siaran edukasi untuk anak-anak biasany sudah memiliki siaran tersendiri, seperti Disney, Cartoon Network, Baby, dan sebagainya.

Buat orang tua, ada beberapa hal yang harus ditaktisi untuk mengajarkan anak mengenal lagu anak-anak. Coba ajari mereka untuk menyanyikan lagu anak-anak. Berikan penghargaan ketika mereka berhasil menyanyikannya dengan sempurna. Selain itu, cobalah rekam aktivitas mereka ketika menyanyi, biasanya anak-anak akan merasa senang jika nyanyian mereka di putar kembali.

Hingga sekarang masih ada beberapa penulis lagu yang tetap mencoba konsisten dengan lagu anak-anak. Namun penulis lagu anak-anak tidak sebanyak dahulu seperti AT Mahmud, Pak Kasur,  Bu Sud, dan Papa T Bob. Kita seharusnya berdiri dan bertepuk tangan kepada orang-orang yang masih peduli terhadap lagu anak-anak saat ini. Di era globalisasi seperti ini, banyak pencipta lagu yang mencoba menyebarkan lagunya lewat situs You Tube. Sebuah ide yang terlihat simple namun berdampak besar.

Tak cuma para penulis lagu saja, kita pun harus bertepuk tangan karena saat ini masih ada anak-anak yang mencoba mengibarkan kembali panji kegemilangan lagu anak-anak. Sebut saja nama seperti Umay Shahab atau group anak-anak yang mewarisi sifat boyband atau girlband. Seperti kids girl band 3 C atau Coboy Junior. Walaupun ada beberapa lirik yang tak sesuai, namun, tak apalah. Sedikit demi sedikit kita akan merenovasi keadaan musik anak-anak saat ini.
Kembali ke adik bungsu saya, ia masih sering menyanyikan lagu-lagu dewasa. Sampai saat ini ia lebih memilih menyanyikan lagu-lagu dewasa dibandingkan lagu anak-anak. Mungkin bukan hanya Maulana si Bungsu di keluargaku yang berubah. Namun masih banyak Maulana lain yang terjebak pada nyanyian dewasa. Hingga mereka menjadi orang dewasa yang terjebak dalam tubuh kecil. Sesuatu yang tak kita inginkan dalam pertumbuhan seorang anak.
Karena anak-anak akan menjadi pengganti kita kelak. Mereka akan menjadi pemimpin bangsa Indonesia nantinya. Jika dari sekarang mereka tidak bisa kita jaga dari pemikiran yang bisa merusak, bagaimana nasib mereka kelak? Semua tergantung dari kita sekarang….
Masa depan Indonesia tergantung bagaimana anak-anak ber-musik saat ini….
@adliencoolz

Realita Musik Anak Kini

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua. Quis ipsum suspendisse vel facilisis.

2 Responses

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Categories

    Trending posts

    No posts found

    Subscribe

    Lorem ipsum dolor amet, consecte- tur adipiscing elit, sed tempor.