Ternyata pakaian yang kita pakai punya dampak buruk bagi lingkungan. Perubahan iklim banyak disebabkan oleh tingkah laku manusia, salah satunya suka berganti baju baru tiap tahun. Tanpa menyadari dampak buruk produksi tekstil pada lingkungan untuk jangka panjang.

“Baju baru

Alhamdulillah, tuk dipakai di Hari Raya,

Tak ada pun tak apa-apa.

Masih ada baju yang lama”

Lagu yang sering kita dengarkan saat menjelang hari Lebaran tiba. Masih lekat dalam ingatan, bahwa lagu ini memiliki hidden motivation bagi saya untuk membeli baju baru di saat lebaran. Berbekal lagu ini, saya menjadikannya alibi bahwa setiap kali lebaran saya harus memiliki baju baru. Entah itu dibelikan oleh Bunda atau alm. Mbah Rayi. Kalau tidak ada baju baru, saya akan merengek selaiknya anak kecil seusia saya.

Ketika saya semakin besar, saya baru sadar bahwa ada lanjutan kalimat di dalam lagu tersebut. Sebuah opsi yang tanpa sadar sering diabaikan oleh banyak manusia. “Tak ada pun tak apa-apa, masih ada baju yang lama“. Opsi kedua ini pun ditawarkan oleh pencipta lagu, namun opsi pertama lebih sering jadi pilihan bagi banyak orang.

Penasaran gak sih bagaimana sebenarnya sebuah baju tercipta?

Fakta Produksi Baju di dunia

Zaman dulu, baju dibuat dengan memanen kapas lalu dipintal menjadi benang. Atau memanen sarang ulat sutera yang dipintal menjadi benang. Setelah itu benang ditenun menjadi kain lalu diwaranai agar menjadi baju yang cantik. Proses ini masih bisa kita temukan di daerah NTT. Seperti kisah yang pernah saya ceritakan disini.

Namun saat ini sejak ditemukannya cara untuk membuat kain sintetis pada abad ke-20, dimulailah era baru dalam mode. Penemuan serat Rayon yang awalnya untuk menahan serangan ulat sutera yang dapat menghancurkan industri sutra di Perancis, menjadi salah satu bahan yang kemudian beredar luas di pasaran. Bahan dasarnya berupa nitrocelulose dari bubur kayu.

Lalu setelahnya bermunculan kain sintetis lainnya seperti nilon, rhoyvl, polyester, orlon, rilsan dan tengal yang berasal dari campuran minyak bumi dan batu bara. Jenis kain sintetis ini sudah banyak kita temui di kehidupan sehari-hari bahkan sudah hampir tak terpisahkan lagi. Kain sintetis yang merupakan campuran bahan alami dengan bahan kimia, membuat dampak negatif bagi lingkungan kita tanpa kita sadari.

Industri Fesyen dalam angka. https://consciouscompanymedia.com/wp-content/uploads/2015/07/apparel-industry-by-the-numbers-988×1024.png

Dampak Pakaian bagi Lingkungan

Untuk memahami seperti apa dampak mode secara keseluruhan bagi lingkungan, mari kita melakukan kalkulasi sederhana.

Setiap tahunnya ada 150 miliar pakaian yang diproduksi demi memenuhi keinginan manusia. Hal ini berarti ada 20 pakaian untuk 1 orang di bumi (estimasi kasar ini tidak berlaku bagi orang yang hidup di bahwa garis kemiskinan). Merujuk pada penelitian Council for Textile Recycling (CTR) setiap tahunnya ada 2,5 miliar pon limbah kain yang dibuang. Selain itu CTR juga melaporkan bahwa kebiasaan orang Amerika untuk membeli pakaian meningkat hingga 60% di tahun 2014 dibandingkan sejak tahun 2000. Selain itu ditambah dengan kebiasaan Fast Fashion, pakaian lebih cepat dibuang daripada digunakan kembali di tahun berikutnya.

Informasi tambahan dari Laporan Environmental Protection Agency (EPA) orang Amerika membuang 80 pon atau setara dengan 36 kilogram pakaian per tahun per orang. Jika diandaikan, itu cukup untuk mengisi tiga kantong plastik besar. Dan kebanyakan bahan sintetis itu masuk ke tempat pembuangan akhir atau berakhir di laut. Bisa dibayangkan berapa banyak pakaian yang pada akhirnya hanya dibuang begitu saja?

Dampak pada Perubahan Iklim

Banyak peneliti yang memperkirakan di tahun 2050 industri mode akan menggunakan 25 persen dari anggaran karbon dunia dan menjadikannya salah satu pabrik paling berpolusi setelah minyak. Hal ini dikarenakan semakin banyak manusia yang tergiur dengan barang baru di media sosial dan didengungkan oleh para influencer. Maraknya postingan Outfit Of The Day (OOTD) membuat orang untuk terus menerus memperbarui outfit mereka. Selain itu kemudahan manusia untuk mendapatkan pakaian dengan harga murah dan bagus, membuat orang tertarik untuk terus berbelanja pakaian.

Tak heran jika situs PBB mengungkapkan bahwa industri tekstil bertanggung jawab atas 10% carbon foot print di dunia. Hal ini yang membuat industri fashion termasuk dalam memberikan efek perubahan iklim di dunia. Padahal jika setiap orang membeli satu potong pakaian bekas selama setahun, itu bisa menghemat sekitar 6 pon emisi C02. wow.. Disadur dari Wildezine.com mengungkapkan bahwa hal tersebut setara dengan menghilangkan setengah juta mobil dari jalan raya selama setahun. Sekarang kebayang gak berapa besar emisi karbon yang diciptakan oleh industri fashion?

Studi Kasus di Indonesia

Padahal tanpa disadari produksi fashion selain menghasilkan 10% dari emisi karbon manusia, hal itu juga mengeringkan sumber air dan mencemari sungai. Untuk kasus di Indonesia yang paling santer terdengar adalah pabrik tekstil yang membuat sungai Citarum tercemar parah. Pada tahun 2018 ada 64 perusahaan tekstil yang tak memiliki instalasi pengolah air limbah (IPAL) dan membuang limbah tekstil langsung ke sungai. Limbah tekstil lebih sering berbentuk cair yang mengandung pewarna dan seperti krom, fenol dan logam serta bahan pembilas yaitu BOD dan COD tinggi. Sehingga mudah sekali terlarut dalam air dan terbawa hingga ke hilir sungai bahkan ke laut.

Hingga saat ini sudah ada pengaturan khusus yang terbentuk pada tahun 2019. Dengan adanya Perpres no 15 Tahun 2019 yang mengatur secara detail pembenahan dari berbagi aspek diharapkan agar Citarum nantinya bisa semakin baik. Masalah pencemaran Sungai Citarum bukanlah hal yang sepele, karena ada 2,7 juta warga Jawa Barat yang menggantungkan hidupnya pada sungai ini. Selain itu 80% air minum warga Jakarta juga berasal dari sungai ini. Jika air sungai tercemar, secara otomatis air yang digunakan untuk minum ataupun irigasi bisa merusak tubuh dan lahan pertanian dalam jangka panjang.

Itu hanya limbah cair, belum lagi dihitung limbah dari hasil mencuci. Menurut penelitian, mencuci beberapa jenis pakaian mengirimkan ribuan kepingan plastik (microplastic) ke laut dan menyebabkan masalah lainnya. Betapa besarnya dampak dari sebuah pakaian..

Dampak Sosial dari Pakaian

Selain dampak lingkungan, pakaian ternyata juga memiliki dampak sosial. Tanpa kita sadari, baju yang kita beli dengan harga murah juga menggunakan tenaga kerja yang murah. Baju-baju yang beredar di Pasar Eropa atau Amerika kebanyakan memperkerjakan tenaga kerja dengan upah rendah di negara-negara berkembang, Indonesia salah satunya.

Para pekerja ini tak memiliki hak yang layak, masa kerja yang tidak lazim, tidak memiliki asuransi atau jaminan kecelakaan kerja. Kasus yang paling parah pernah terjadi di Dhaka, Bangladesh sebuah pabrik tekstil untuk 29 merk fast fashion dunia runtuh dan membunuh ribuan jiwa. Tercatat 1135 korban jiwa dan 2438 orang terluka dalam kejadian ini.

Penggunaan tenaga kerja dengan upah rendah ini lazim terjadi di negara berkembang seperti Kamboja, Bangladesh, Indonesia, India, Pakistan dan Thailand. Selain pekerja dengan upah rendah, kebanyakan industri fashion mempekerjakan buruh di bawah umur agar upahnya rendah. Menurut laporan UNICEF, buruh anak sering dipekerjakan di industri tekstil karena mereka mudah disuruh, cocok untuk pekerjaan ringan, dan juga tak banyak protes.

Apa yang bisa kita lakukan untuk mengurangi sampah pakaian?

  1. Berhenti membeli baju demi memuaskan diri sendiri atau mengikuti trend fashion yang tidak akan pernah habis. Trend itu selalu berulang, bisa gunakan baju-baju lama yang dipadupadankan dengan aksesories unik dan menarik. Jika pakaian masih bagus digunakan, tidak perlu diganti atau menambah pakaian baru. Intinya stop pembelian baju yang tidak terlalu dibutuhkan.
  2. Mendaur ulang pakaian menjadi hal yang bisa bermanfaat. Kalau yang paling sering dilakukan adalah membuat kain baju menjadi lap atau kain pel sehingga membuat kain memiliki waktu pakai lebih lama. Lakukan upcycle pakaian menjadi barang kreatif. Misalnya, menjahit kain perca menjadi baju laik pakai dan bisa menjadi sumber uang lagi. Adik saya melakukan proses kreatif yang biasa disebut tie dye mewarnai baju kaos lama dengan pemutih pakaian. Hingga pakaian lama terlihat seperti baju baru.
  3. Untuk mengurangi pembelian, kalian bisa melakukan penyewaan baju melalui apps yang tersedia. Saat ini sudah banyak jasa penyewaan baju yang modis tanpa harus merogoh kocek untuk beli baju baru. Apps seperti ini diperkenalkan agar orang tak perlu membeli baju pesta setiap ingin pergi ke pesta besar.

Kalau butuh banget, gimana donk?

  1. Jika terpaksa sekali membeli baju, bisa membeli baju bekas di pasar loak. Saat ini banyak sekali pasar loak yang menyediakan baju-baju import ataupun baju lokal. Tak perlu malu untuk mengunjungi pasar loak terdekat dari rumah. Di Belanda, banyak sekali toko loak yang menyediakan baju-baju bekas dengan harga murah. Saya selalu mencari baju bekas murah di Kringloop. Baca ceritanya disini
  2. Clothing Swap atau tukar pakaian. Hal ini sangat lumrah dilakukan di Belanda. Para mahasiswa biasanya menukar pakaian musim dingin tahun lalu untuk ditukar dengan baju musim panas. Ataupun sebaliknya. Saya pernah menukar batik saya dengan sebuah jaket parka yang cantik. Banyak universitas yang menawarkan kegiatan ini sembari membuka kafe. Salah satunya sebuah kafe di Belanda, yaitu The Clothing Swap Cafe yang beroperasi saat musim panas. Mereka meminta pengunjung untuk membawa pakaian laik pakai yang kemudian akan ditukarkan dengan pakaian pengunjung lainnya.
  3. Membeli pakaian yang menggunakan bahan non sintetis. Misalnya kain tenun dari NTT yang sekaligus membantu perekonomian warga sekitar. Membeli kain yang diproses dengan cara alami bisa menjadi salah satu alternatif untuk mengurangi emisi karbon.

Kesimpulan

Membeli baju baru di hari raya ternyata hanya menjadi salah satu opsi yang bisa dipertimbangkan. Dan tak membeli baju baru adalah opsi yang patut jadi pilihan demi masa depan lebih baik tanpa banyak sampah tekstil. Semoga kita bisa lebih sadar dan bertanggung jawab saat melakukan pembeli baju di masa mendatang. Karena sudah sadar bahwa pakaian mempunyai dampak lingkungan.

 

Saya sudah berbagi pengalaman soal perubahan iklim. Anda juga bisa berbagi dengan mengikuti lomba blog “Perubahan Iklim” yang diselenggarakan KBR (Kantor Berita Radio) dan Ibu-Ibu Doyan Nulis (IIDN). Syaratnya, bisa Anda lihat di sini 

 

 

Sumber :

Perjalanan Penciptaan Berbagai Kain Sintetis – https://kumparan.com/potongan-nostalgia/perjalanan-penciptaan-berbagai-kain-sintetis-1542444290800157872/full

Bahan Pakaian yang ramah dan tak ramah lingkungan – https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20190715200840-277-412389/bahan-pakaian-yang-ramah-dan-tak-ramah-lingkungan

Industri Tekstil akan hancur jika pencemaran Citarum tak ditangani – https://www.pikiran-rakyat.com/bandung-raya/pr-01320414/industri-tekstil-akan-hancur-jika-pencemaran-citarum-tak-ditangani-baik?page=2

Child Labour – https://labs.theguardian.com/unicef-child-labour/

The Danger of Fast Fashion – https://wildezine.com/3401/opinion/the-dangers-of-fast-fashion/

How much do our wardrobe cost environment – https://www.worldbank.org/en/news/feature/2019/09/23/costo-moda-medio-ambiente

Ternyata Pakaian Punya Dampak bagi Lingkungan

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua. Quis ipsum suspendisse vel facilisis.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Categories

    Trending posts

    No posts found

    Subscribe

    Lorem ipsum dolor amet, consecte- tur adipiscing elit, sed tempor.